Rabu, 20 April 2016

Perkosaan dan Kekuasaan


Rape is not about sex, it is about power  ~Susan Brownmiller (Against Our Will, 1975)
Pertemuan serta kajian feminisme dan gender oleh KOPRI PMII Cabang Surabaya Selatan kali ini (Rabu, 20 April 2016) membahas tentang Perkosaan dan kekuasaan. Medusa, sebagai topik pembuka dalam diskusi perdana ini, telah membuat para peserta bergairah. Banyak sekali diantara peserta yang tidak terima lantaran mengapa Medusa yang notabene korban perkosaan justru ditetapkan sebagai tersangka dan dikutuk dengan kutukan yang tak manusiawi. Budaya patriarki membuat lelaki dizaman itu lebih mendominasi dan memiliki kekuasaan lebih dari pada perempuan. Medusa, perempuan suci penjaga kuil athena, yang awalnya begitu dipuja dan diinginkan para lelaki bumi hingga surga, dari manusia hingga dewa, justru karena kesalahan yang bukan kesalahannya dicaci dan dibenci dengan kebencian luar bisa. BURU dan BUNUH! itulah perintah dewan kota. 

Poseidon memperkosa medusa. Namun mengapa justru medusa yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman?. Sedangkan Poseidon, sang dewa laut itu dibebaskan oleh penguasa Athena. Bukankah tidak ada seorang perempuanpun yang mau diperkosa. Begitu pula halnya dengan medusa. Tetapi kecantikan dan pesona yang ia miliki justru membuatnya harus menerima tuduhan yang keji: “Medusalah si pengundang birahi itu sendiri, sedangkan Poseidon hanya mengikuti naluri”. 

Semacam legenda, cerita tentang medusa telah tersiar ribuan tahun lamanya di jaman dewa-dewi yunani. Tidak ada yang tahu kebenaran tentang perempuan berkepala ular itu, yang dari tatapannya bisa membuat seseorang berubah menjadi batu. Namun bolehkah kita berdoa semoga itu hanya cerita, sehingga tak perlu ada perempuan bernama medusa yang benar-benar mengalami penghinaan dan kepedihan sedalam itu. 

Baiklah, mari kita kembali saat ini, di zaman ini. Mari kita lihat disekeliling kita. Ternyata banyak sekali perempuan yang justru sebenarnya adalah korban, namun dipaksa bungkam dan menutup rapat-rapat kejadian yang dialaminya. Semua itu tak lebih dianggap aib yang harus ditutupi dan di kubur dalam-dalam. Peristiwa ini seringkali menempatkan perempuan,  korban itu, di tempat yang “kotor”. Sehingga dirinya merasa tak lagi “suci”. Semacam kehilangan yang tak boleh disuarakan, tak boleh diungkapkan. Ketika ada perkosaan, maka pilihan busana perempuan itulah yang seringkali dikambing hitamkan. Kita, masyarakat dan mendia cenderung fokus terhadap korban dari pada pelaku. Seperti mengapa ia harus pulang semalam itu, memakai rok sependek itu atau semenggoda itu. Seakan-akan si pemerkosa tidak di lengkapi Tuhan dengan ‘rem’ yang bisa digunakan untuk mengatur serta menahan hasrat birahinya. Bukankah manusia selalu punya dua pilihan? istilah jawanya ngerem atau ngegas, berarti menahan atau melepaskan.  

Banyak mitos yang berkembang saat ini mengenai perkosaan. Salah satunya beberpa mitos yang telah dipaparkan Maria Amirudin dalam Jurnal Perempuan edisi 71 Tahun 2011. Perkosaan bukan hanya terjadi karena adanya hasrat si pemerkosa. Melainkan juga dibutuhkan kuasa dan rencana yang matang dalam menjalankan aksi. Perkosaan bukan hanya karena keinginan melampiaskan hajat pribadi tetapi lebih sering karena niat utamanya memang ingin menyakiti. Perkosaan bukan hanya terjadi karena baju korban yang  dianggap terlalu mini dan seksi. Melainkan lebih sering karena korban sedang dalam kondisi lemah, tidak bisa melawan, sendirian dan tidak mungkin untuk melarikan diri. pemerkosa itu tak harus selalu jauh dan asing, justru lebih sering ia berasal dari yang dekat. (UA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar