Sabtu, 30 April 2016

May Day, fobia pemerintah terhadap kaum buruh.

Imam Sholichun
Ketua Cabang PMII Surabaya Selatan 2015-2016

May Day, itulah yang sering kita dengar di akhir bulan April, baik dalam media cetak dan elektronik. May Day bertepatan pada tanggal 1 Mei. Di banyak tempat di dunia, tanggal 1 Mei oleh masyarakat digunakan untuk berlibur dan merayakan musim semi. Namun, kebanyakan orang mengetahui bahwa May Day diperingati sebagai Hari Buruh. Hari Buruh lazim dilakukan aksi turun ke jalan oleh pekerja pabrik untuk menyuarakan tuntutan. Seperti kenaikan upah, tunjangan untuk masa tua (dana pensiun), tunjangan kesehatan, dan lain-lain.
Namun, kebanyakan orang belum mengetahui asal usul, mengapa 1 Mei ditetapkan menjadi Hari Buruh Internasional. Mengapa tidak hari diperingati pada tanggal 17 Juli, yang bertepatan pada saat terjadinya revolusi di Perancis pada tahun 1789. Malah dipilih hari 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional.
Ditetapkannya Hari Buruh pada 1 Mei, memang sangat beralasan. Hal yang mendasari ditetapkannya 1 Mei sebagai Hari Buruh adalah sejarah yang melatarbelakanginya. Pada bulan April 1986, dilakukan demontrasi oleh buruh di Kanada, yang bertujuan untuk menolak sistem kerja selama 20 jam per hari. Serta menuntut batasan bekerja selama 8 jam per hari. Setelah mekakukan aksinya, kemudian pemerintah merespon dan menyetui dengan menyetujui tuntutan mereka. Serta memberlakukanya tepat pada tanggal 1 Mei 1986.
Setelah itu, timbul semangat dan keinginan yang sama dari buruh Amerika. Oleh karenanya, pada tanggal yang sama (1 Mei),  buruh Amerika melakukan aksi selama 4 hari. Dengan maksud dan tuntutan yang sama, yakni menginginkan batasan bekerja 8 jam per hari. Namun, sesuatu terjadi pada tanggal 4 Mei, yang bertepatan hari terakhir aksi. Tidak disangka, polisi Chicago melakukan tembakan dan menewaskan 4 orang buruh. Dan peristiwa itu dikenal dengan Tragedi Haymarket, dikarenakan kejadian ini terjadi dilapangan Haymarket. Dan setelah 3 tahun peristiwa tersebut, bertepatan pada Kongres Sosialis Dunia di paris tahun 1889. Kongres menetapkan 1 Mei adalah Hari Buruh Internasional.
Alasan, mengapa Tragedi Haymarket (1886) dijadikan landasan, mekipun revolusi Perancis, lebih dahulu terjadi (1789), sebelum ditetapkannya Hari Buruh pada tahun 1889.  Hal yang mendasarinya adalah semangat yang di usung oleh buruh atau pekerjanya. Revolusi Perancis mengusung visi untuk perubahan pada bidang pemerintahannya. Sedangkan peristiwa Haymarket terjadi karena tuntutan semenang-menang oleh sektor industri kepada pekerjanya. Hal ini, yang merepresentasikan kepentingan kaum buruh.
Sedangkan, untuk peringatan Hari Buruh di Indonesia. Sejak pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang bisa disapa dengan SBY, pemerintah menetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional. Memang ada maksud untuk lebih menghormati dan memberikan hak kepada kaum buruh. Akan tetapi, menurut hemat kami, kebijakan tersebut diambil ‘murni’ karena pemerintahan Indonesia saat itu,takut akan gerakan kaum buruh.
Hal ini sangat beralasan, dikarenakan setiap rezim pasti akan bertemu dengan suatu gerakan, yang akan mengancam distabilitas rezim tersebut. Coba kita ambil contoh, waktu pemerintahan presiden Soekarno, beliau dilengserkan dari tampuk kekuasaanya lewat militer. Sama halnya yang terjadi di Portugal, Mesir dan Thailand. Pada era presiden Soeharto, dilengserkan oleh gerakan mahasiswa. Pada waktu presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, beliau dimakzulkan oleh parlementer. Kita semua mengetahui, ‘sejarah tidak akan berulang 2 kali’. Sejarah akan pelengseran presiden tidak bisa terjadi melalui cara yang sama. andaikan itu terjadi, kemungkinan terjadinya sangatlah kecil. Oleh  karenanya, mungkinpemerintahan diwaktu SBY menetapkan 1 Mei sebagai ‘hadiah’ untuk kaum Buruh. Agar tidak terjadi kudeta pemerintahan yang dilakukan kaum buruh. Seperti yang terjadi di Amerika dan perancis, atau lebih dikenal sebagai Revolusi Industri.
Dan sebagai penutup, untuk memperingati May Day. Kami berharap apa yang dilakukan oleh kaum buruh besok, disaat turun kejalan. Jangan hanya memetingkan kebutuhan kelas anda (kaum buruh), namun pikirkanlah hajat lain,  yang kami rasa jauh lebih tertidas dan terdzolimi daripada anda. Seperti, nelayan, gelandangan, anak terlantar, pengemis dan lain lain. Ssalam Pergerakan…!!! #maSsih_melawan #teruSs_berkarya

Rabu, 27 April 2016

“Hanya” Pelacur Pendidikan

Oleh 
M Waliyul Hakim
Twitter @waliyul 

Dikota metropolis seperti Surabaya ini, kita dengan mudah menemukan ANJAL (anak jalanan). Yang menurut sebagian orang bahkan ahli dalam berbagai disiplin ilmu, anak-anak ini di anggamenjadi masalah dalam pembangunan suatu negara. Anggapan ini begitu menggelitik di telinga penulis, bahkan sampai dapat mengiris hatinya. Bukan karena siapa yang mengeluarkan statement seperti itu. Namun lebih karena alasan yang mendasarinya, "kenapa?".
Menurut kekerdilan pengetahuan penulis, pendapat seperti itu perlu diklarifikasi atau malah dibuang jauh-jauh. Anjal tidak akan menjadi anjal kalau tidak ada yang membentuk, atau menciptakan mereka. Salah satu contohnya, bisa dari peraturan yang menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi. Yang mengakibatkan banyak wanita menjajakan kepuasan seksual (menjadi pelacur). Di kemudian hari melahirkan anak kurang kasih sayang. Dalam pertumbuhan anak itu, akibat kurangnya kasih sayang orang tua, jalanan adalah alasan yang dirasa cukup masuk akal, untuk tempat meluapkan segala emosi dan masalah yang mereka hadapi.
Dalam bidang pendidikan. Kita tahu bahwa pendidikan yang baik dan maju akan berdampak juga terhadap kemajuan suatu bangsa. Namun, jika ditelisik dengan role model  pendidikan saat ini di Indonesia, maka praktis hanya orang-orang kaya yang dapat mengecap pendidikan yang berkualitas. Akibatnya anak kurang mampu tidak dapat melanjutkan pendidikanya (putus sekolah). Dan dengan keterampilan yang terbatas itu, hanya perusahaan angkot dan bus umun yang dapat mempekerjakannya (maksudnya menjadi pengamen atau pedagang asongan yang naik turun angkot dan bus demi meraih sesuap nasi).Ironis sekali.
Jika dlihat dari paparan diatas, dengan serta merta mengugurkan argumen diatas. Salah mereka menganggap anak sebagai masalah pembangunan. Jika boleh menyimpulkan, pembangunan itu sendiri  yang menjadi masalah untuk anak-anak. Mereka banyak dan hampir dipastkan kehilangan semua hak-hak nya. Ini yang menjadi PR besar pemerintahan saat ini, tidak hanya dengan mengeluarkan kebijakan yang populis, seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan KIS (Kartu Indonesia Sehat).
Dan jika boleh mengadopsi masalah yang diatas. Sejatinya masalah yang ada dikampus kita tercinta ini juga sama, yakni orang-orang berdasi yang duduk di ruang ber-AC (stakeholder yang ada di UINSA baik pegawai maupun dosen) menganggap mahasiswa sebagai sumber masalah yang harus diatasi. Mereka menganggap mahasiswa hanya memperlamat kinerja dan tugas mereka, untuk mengabdi kepada Indonesia melalui jalur pendidikan dengan mencerdaskan kehidupan masyarakatnya.
Namun kenyataanya, stakeholder di kampus tercinta ini hanya merupakan masalah yang akut, atau dalam bidang kesehatan adalah kanker stadium IV yang sudah tidak bisa disembuhkan lagi, hanya menungu ajal memanggilnya. Ini beralasan dikarenakan sejatinya pendidikan adalah memberdayakan setiap orang supaya berselancar di tengah alam semesta, malah mereka mereduksi arti pendidikan itu sendiri. Mereka membuat kebijakan kampus dengan semenang-menang hanya untuk melenggangkan kekuasaanya. Seperti pembatasan ranah gerak organisasi-organisasi kampus baik Intra maupun ekstra, uang kuliah yang semakin naik tiap tahun dengan tidak dibarengi kualitas pendidikan dan fasilitas yang memadai, dll.
Padahal mereka duduk manis dikantor mereka sendiri-sendiri dan penulis juga menjumpai beberapa stakeholder berada di pusat perbelanjaan pada waktu jam kerja. Memang mereka berasumsi melakukannya semata-mata untuk diskusi maupun mengerjakan semacam penelitian. Namun hakikatnya mereka melakukan itu semua hanya untuk tuntutan profesi, bisa untuk menunjang karir atau jabatan (seperti PLPG, pelatihan dihotel berbintang,dll) , bisa juga untuk mengunakan angaran untuk laporan tutup buku tahunan (seperti penelitian yang melibatkan mahasiswa dengan iming-iming uang pengganti penelitan, bahkan konon ada biaya cetak, pajak, atau semacamnya sebesar 300ribu yang tidak jelas untuk apa sebenarnya).
Memang hal seperti ini mirip drama Korea maupun India, indah, menyebangkan bahkan megharukan. Namun pada kenyataanya itu semua hanya fiktif belaka. Mungkin mereka title atau gelar yang mereka sandang hanya fiktif belakan atau semacam beli Ijazah. Menyedihkan sekali perilaku mereka yang tidak menunjukkna keilmuan yang tinggi sebagai orang yang berada di Instansi tertinggi negeri yang tujuannya untuk pengembangan keilmuan, yakni peguruan tinggi.
Dengan argumen-argumen, tidak heran orang yang mengajar di perguruan tinggi seperti UNISA ini, tidak disebut dengan guru, dan menurut penlis memang tidak pantas disebut guru. GURU = digugu dan ditiru (dicontoh sebagai suri tauladan yang baik), melainkan dengan sebutan DOSEN = doyan sen (suka uang). Mungkin karena sebutan itu , uang yang menjadi alasan mereka para pengajar di peguruan tinggi, bukan pengabdian seperti para pengajar disekolah dasar dan menengah.
Namun dengan sebutan Doyan Sen itu, tidak menunjukkan tradisi keilmiahan yang dilabelkan di perguruan tinggi. Menurut pandangan penulis Pelacur Pendidikan yang pas dan pantas untuk menggambarkannya, karena mereka hanya memanfaatkan institusi ini demi hasrat dan nafsu akan kekayaan, jabatan dan kekuasaan mereka saja.(HK)


Status Quo Kurikulum Pendidikan Indonesia

Oleh 
Asyari 
kader Rayon Al-Ghozali

Pada skala umum, pendidikan merupakan sebuah upaya dalam meningkatkan kualitas intelektual masyarakat. Lewat jalan pendidikan, masyarakat diharap mampu bersaing  dengan kompetensi yang dimiliki. Indonesia memakai jalan pendidikan mampu menyatukan rakyat. Entah itu bentuk pendidikan para penjajah ataupun pesantren. 

Terlintas waktu, Indonesia mengalami banyak perubahan terkait dengan pendidikan, secara kebijakan ataupun struktural. Tentunya kita tahu dalam pendidikan ada yang bersifat formal ataupun non formal. Bukan lagi sebuah diskursus antara formal atau non formal, yang terpenting, semua dalam rangka meningkatkan kualitas rakyat Indonesia. Intelektual terbentuk bisa melalui kualitas pengalaman dan kuantitas pengalaman.

Dalam kajian pendidikan formal tentu ada struktur dan  kebijakan pendidikan, itu saling berkaitan dan dalam implementasi terjadi sebuah tradisi seiringnya waktu. Salah satu dari itu, tentang sebuah kurikulum yang sangat dinamis terjadi di indonesia. Kurikulum bertujuan membuat percepatan pendidikan. Di negara kita perubahan kurikulum sudah sering kali berubah, karena perubahan itu dimaksud untuk meningkatkan kualitas pendidikan di indonesia.Mungkin bukan lagi hal yang baru bagi kita, tentang pencabutan implementasi Kurikulum 2013 di Indonesia oleh kementrian pendidikan, karena dirasa perlu perbaikan dan evaluasi terkait kurikulum tersebut.

Semua itu berimplikasi disparitas, kesenjangan dan ketidakjelasan kurikulum di Indonesia, sehingga menimbulkan status quo kurikulum pendidikan di indonesia. Memang masih menjadi pro dan kontra akan hal ini, mengingat terjadi tergesa-gesa dan juga banyak sekolah yang sudah berjuang untuk mengimplementasikan kurikulum tersebut tetapi sekarang dicabut. Banyak pihak mengalami kegalauan diantaranya guru dan tenaga kependidikan. Muncul banyak pertanyaan. Apakah K-13 ini dibuang? Direvisi? Atau dipertahankan?. Sebuah diskursus baru bagi kita penikmat pendidikan di Indonesia. 

Sabtu, 23 April 2016

Salah Tubuhku



Ku cantik, tampil di depan tv
Kau tuduh aku komersilkan diri
Ku jajakan diri demi sesuap nasi,
Kau tuduh aku jalang tak punya harga diri
Ku tampil seadanya tanpa dandan
Kau bilang aku bodoh tak becus jaga penampilan
Ku tak pernah tanggalkan make up
Kau bilang aku menor harus bisa jaga sikap

Ku gunakan busana murah
Kau bilang seleraku payah
Ku beli tas, baju, sepatu, make up mahal bermerek
Kau katai aku boros, kau tuduh aku perek

Ku berkerudung di atas dada
Kau bilang jilbobs sama layaknya tak berbusana
Ku nyaman dengan busana mini
Kau tuduh aku pengundang birahi
Katamu salahku sendiri jika digagahi
Ku kenakan busana syar'i
Katamu aku teroris, pantas diwaspadai
Ku kenakan hijab sebaik mungkin
Kau bilang akhlakku tak menjamin

Tubuhku oh tubuhku
Salahku oh salahku

Surabaya, April '16
Ulum Arifah

Rabu, 20 April 2016

Perkosaan dan Kekuasaan


Rape is not about sex, it is about power  ~Susan Brownmiller (Against Our Will, 1975)
Pertemuan serta kajian feminisme dan gender oleh KOPRI PMII Cabang Surabaya Selatan kali ini (Rabu, 20 April 2016) membahas tentang Perkosaan dan kekuasaan. Medusa, sebagai topik pembuka dalam diskusi perdana ini, telah membuat para peserta bergairah. Banyak sekali diantara peserta yang tidak terima lantaran mengapa Medusa yang notabene korban perkosaan justru ditetapkan sebagai tersangka dan dikutuk dengan kutukan yang tak manusiawi. Budaya patriarki membuat lelaki dizaman itu lebih mendominasi dan memiliki kekuasaan lebih dari pada perempuan. Medusa, perempuan suci penjaga kuil athena, yang awalnya begitu dipuja dan diinginkan para lelaki bumi hingga surga, dari manusia hingga dewa, justru karena kesalahan yang bukan kesalahannya dicaci dan dibenci dengan kebencian luar bisa. BURU dan BUNUH! itulah perintah dewan kota. 

Poseidon memperkosa medusa. Namun mengapa justru medusa yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman?. Sedangkan Poseidon, sang dewa laut itu dibebaskan oleh penguasa Athena. Bukankah tidak ada seorang perempuanpun yang mau diperkosa. Begitu pula halnya dengan medusa. Tetapi kecantikan dan pesona yang ia miliki justru membuatnya harus menerima tuduhan yang keji: “Medusalah si pengundang birahi itu sendiri, sedangkan Poseidon hanya mengikuti naluri”. 

Semacam legenda, cerita tentang medusa telah tersiar ribuan tahun lamanya di jaman dewa-dewi yunani. Tidak ada yang tahu kebenaran tentang perempuan berkepala ular itu, yang dari tatapannya bisa membuat seseorang berubah menjadi batu. Namun bolehkah kita berdoa semoga itu hanya cerita, sehingga tak perlu ada perempuan bernama medusa yang benar-benar mengalami penghinaan dan kepedihan sedalam itu. 

Baiklah, mari kita kembali saat ini, di zaman ini. Mari kita lihat disekeliling kita. Ternyata banyak sekali perempuan yang justru sebenarnya adalah korban, namun dipaksa bungkam dan menutup rapat-rapat kejadian yang dialaminya. Semua itu tak lebih dianggap aib yang harus ditutupi dan di kubur dalam-dalam. Peristiwa ini seringkali menempatkan perempuan,  korban itu, di tempat yang “kotor”. Sehingga dirinya merasa tak lagi “suci”. Semacam kehilangan yang tak boleh disuarakan, tak boleh diungkapkan. Ketika ada perkosaan, maka pilihan busana perempuan itulah yang seringkali dikambing hitamkan. Kita, masyarakat dan mendia cenderung fokus terhadap korban dari pada pelaku. Seperti mengapa ia harus pulang semalam itu, memakai rok sependek itu atau semenggoda itu. Seakan-akan si pemerkosa tidak di lengkapi Tuhan dengan ‘rem’ yang bisa digunakan untuk mengatur serta menahan hasrat birahinya. Bukankah manusia selalu punya dua pilihan? istilah jawanya ngerem atau ngegas, berarti menahan atau melepaskan.  

Banyak mitos yang berkembang saat ini mengenai perkosaan. Salah satunya beberpa mitos yang telah dipaparkan Maria Amirudin dalam Jurnal Perempuan edisi 71 Tahun 2011. Perkosaan bukan hanya terjadi karena adanya hasrat si pemerkosa. Melainkan juga dibutuhkan kuasa dan rencana yang matang dalam menjalankan aksi. Perkosaan bukan hanya karena keinginan melampiaskan hajat pribadi tetapi lebih sering karena niat utamanya memang ingin menyakiti. Perkosaan bukan hanya terjadi karena baju korban yang  dianggap terlalu mini dan seksi. Melainkan lebih sering karena korban sedang dalam kondisi lemah, tidak bisa melawan, sendirian dan tidak mungkin untuk melarikan diri. pemerkosa itu tak harus selalu jauh dan asing, justru lebih sering ia berasal dari yang dekat. (UA)