Oleh:
Ulum Arifah
Twitter: @ulumarifah
Nyatanya semua ini
hanya Ilusi.
Sketsa buram dari
pikiranku sendiri.
Kita terbelenggu asa
yang menggebu.
Tapi pincang tanpa nyali.
1.
Sejak tadi perempuan berparas ayu
itu tak dapat menyembunyikan kegelisahannya dengan meremas-remas ujung jilbab. Ia
sudah duduk manis di atas motor, namun hatinya masih saja resah. Bagaimana jika
keputusannya kali ini salah?.
“Neng, Bisakah kita bertemu?”.
Pesan pendek Ahmad membuyarkan munajad kepadaNya di sepertiga malam terakhir
pagi ini. Perempuan dengan mukena putih kebiruan itu menimbang-nimbang, balasan
apa yang seharusnya ia berikan kepada lelaki ini. Akhirnya jarinya yang lentik
membalas, “di pantai palu kuning, sebelum waktu dhuha.”
Satu jam berlalu, motor yang ia
tunggangi akhirnya berhasil mengantarkannya ke tempat yang ia tuju, pantai yang
tersembunyi. Ia menemukan lelaki yang begitu ingin ia miliki duduk selonjoran
menghadap pantai.
Perempuan itu duduk di samping
lelaki yang masih mengisi separuh relung hatinya itu, diam, hingga beberapa
waktu.
“Neng, maaf,” ujarnya lirih. Debur
pantai semakin mengaburkan suaranya.
“Untuk?”
“Aku akan menikah”
Perempuan itu mengatur nafasnya.
Sejak lama ia paham jika ini pasti akan terjadi. “Jadi, perempuan mana yang
beruntung itu, Kang?” Ucapnya tenang sambil memandang lurus ke matahari yang
muncul malu-malu.
“Kamu tau aku lebih beruntung
jika memilikimu, neng.”
“Sampean tahu aku tak mungkin
dimiliki.”
“Itu asumsimu saja.”
“Kita sudah pernah membicarakan
ini.”
Kini giliran lelaki itu yang mengatur
nafas. Ia lelah, amat sangat lelah. Perempuan di sampingnya ini begitu
membuatnya kelelahan. Larasati adalah sosok perempuan yang luar biasa keras
kepala namun bertutur lembut, anggun dan memikat. Persetan dengan
kekurangannya. Ia telah dibuat jatuh hati dan menyerah di saat yang sama.
“Kapan?”
“Enam bulan lagi.”
“Lalu?”
“Jika kamu berubah pikiran, aku
masih bisa mengubah nama pengantinnya dengan namamu.”
“Itu akan menyakiti perempuanmu.”
“Tapi ini menyakitiku.”
“Kang,” ujarnya lirih sambil menoleh.
“Anggaplah ini permintaanku yang terakhir, bolehkah aku menciummu.”
Lelaki itu tak menyahut. Kemudian
berbalik memandang perempuan di sampingnya. Mencoba menyelami kedalaman
matanya. Mereka saling menatap, diam dan terpaku.
Kemudian tangan lelaki itu
menggenggam jari tanggan larasati dengan lembut. Jarak semakin terkikis di antara
keduanya. Hingga pelukan hangat terasa di tubuh larasati. Sekejap perempuan itu
seperti kehilangan kewarasan, terlalu takjub dengan getaran yang pertama kali
ia rasakan.
“Kamu serius?”
Perempuan itu hanya mengangguk
dalam dekapannya.
Lelaki itu bergerak mengikuti
naluri. Mendekap kepala perempuan itu dengan kedua tanggannya. Mengarahkannya pelan
untuk di kecupnya. Ia benar-benar mengecupnya, mengecup bibirnya, pelan, pelan
sekali.
Pantai yang sepi, angin bertiup
malu-malu dan sinar matahari yang
hangat, manuntunnya untuk mencium Larasati sekali lagi. Kali ini kecupan itu
berubah menjadi pagutan yang membuat keduanya kehabisan nafas.
“Neng, apakah ini berarti
keputusanmu berubah?”
“Tentu saja tidak.”
Debur pantai terdengar nyaring.
Menelan keheningan diantara kedua manusia itu. Keduanya sibuk dengan pikirannya
masing-masing.
“Bagaimana mungkin kamu tega
menolakku tetapi menjadikan dirimu perempuan pertama yang menikmati sentuhanku
dan mengijinkanku menikmati bibirmu?” Ujar lelaki itu putus asa.
“Anggap saja ini
kenang-kenangan,” jawabnya lirih.
Perempuan itu memelukanya erat
dan menikmati bibir lelaki itu sekali lagi.
“Neng, aku mencintaimu,” ujar
lelaki itu lirih di telinga wanita dalam pelukannya.
Larasati memandang lurus ke manik
mata lelaki itu. “Aku tahu”. Kemudian ia menguraikan pelukannya dan pergi.
2.
Menjadi cucu tunggal dengan
harapan mampu meneruskan keturunan, umur lebih dari seperempat abad dan
pertanyaan-pertanyaan mengapa semua lamaran selalu ditolaknya mentah-mentah,
bukanlah kombinasi yang menyenangkan. Nyai dan Abah sepertinya sudah mulai
bosan dan kelelahan mempertanyakan semua itu.
Ia ingat dengan benar, suatu sore
Nyai mengelus pipinya dengan tangannya yang keriput karena dimakan usia.
Menanyakan apakah ia punya kekasih. Lelaki seperti apa yang sebenarnya ia
inginkankan. Larasati tahu bahwa kedua orang yang sudah sepuh itu tak mungkin
memaksanya. Ya, kakek dan nenek tak mungkin memaksanya. Mereka mungkin takut ia
pergi seperti yang dulu terjadi kepada ibunya. Ibunya yang luar biasa itu,
lebih memilih pergi menyusul ayahnya. Dulu mereka tak direstui karena ayahnya
hanyalah orang biasa. Kini ia mengulangi kesalahan yang sama. Lelaki yang
diam-diam dicintainya juga serupa dengan ayahnya. Bahkan terlalu serupa. Tentu
ia ingin menikah, tetapi masalah yang ia alami begitu rumit. Perempuan itu juga
ingin bahagia, tetapi ia bisa apa?
3.
Disuatu pagi Larasati dikejutkan
dengan sepucuk surat yang tergeletak dibawah pintu kamarnya. Surat dari lelaki
yang dulu sering berada di kediaman kakeknya. Lelaki yang sama yang selama ini
diam-diam telah mencuri hatinya. “Assalamualaikum. Jika ini benar surat darimu kang,
mari kita bertemu di RM. Rumput Laut sore ini pukul dua. Saya pastikan saya
akan datang”. Perempuan itu dengan cepat mengirim pesan ke nomer lelakinya itu.
Larasati terlihat anggun sore itu
dengan jilbab merah jambu dan aksesoris kecil yang membuatnya semakin terlihat
manis. Setelah memastikan motornya aman, ia masuk ke RM rumput laut. Ia memutar
kepala mencari sosok yang ingin ia temui. Lelaki itu, duduk ujung ruangan, memunggungi pintu. Sepertinya ia tak
menyadari kedatangannya.
“Assalamualikum,” sapa perempuan
itu ramah.
“Waalaikum salam,” lelaki itu
kaget. Seketika mempersilahkannya untuk duduk.
Kemudian hening. Lelaki itu
seperti hendak mengucapkan sesuatu namun tak kunjung mengucap sepatah katapun.
“Sampean seperti terlihat ingin
mengatakan sesuatu. Katakanlah, kang.”
Lelaki itu terlihat ragu, namun akhirnya
ia mengangkat suara, “seharusnya kita tak perlu bertemu seperti ini. Neng, ini ndak baik. Neng bisa membalas surat saya
dengan cara yang sama atau bekirim pesan seperti biasa. Saya bisa menerimanya.”
“Dan saya tidak memiliki jawaban yang bisa disampaikan
lewat pesan atau surat”.
Lelaki itu tiba-tiba mendongak
melihat mata Larasati kemudian menunduk lagi seraya beristighfar lirih.
“Apakah ini berarti penolakan?”
“Iya.”
“Baiklah saya mengerti.”
“Apakah sampean tidak mau
mendengar alasannya?”
“Saya paham, neng. Saya tahu
diri. Saya tahu seharusnya saya tak lancang mengirim surat untuk mengkhitbahmu.
Maaf, jika sebelumnya bahkan saya sempat berpikir untuk langsung menemui kiai.”
“Lalu mengapa sampean tidak
langsung menemui abah, malah justru mengirimi saya surat terlebih dahulu?”
“Saya tidak ingin sampean
terpaksa menerima saya, neng. Saya menginginkan kesediaan neng terlebih dahulu.”
“Oh, itu berarti sampean sudah
sangat yakin jika abah pasti menerimamu?”
“Maaf,” Ujarnya lirih. Mukanya
memerah karena menahan malu.
Laras tak menjawab dan memilih
sibuk dengan pikirannya sendiri. “Duh Gusti, lelaki sejujur, setulus dan
semurni ini bagaimana tidak membuatku semakin jatuh hati. Ya Allah, bagaimana
ini.”
“Saya pesankan makanan dan
minuman dulu neng, sampean mau pesan apa?” pertanyaan ahmad membuyarkan lamunan
perempuan itu.
“Oh saya jus alpukat dan bakso
satu tanpa mie. Terimakasih,” sahutnya sambil tergagap.
Setelah pesanan datang dan
keduanya telah menghabiskan pesanan masing masing, percakapan dimulai kembali.
“Kang, apakah sampean mencintai
saya?”
Lelaki itu tak menjawab. Kulitnya
yang putih dan parasnya yang tampan tak mampu menyembunyikan perasaannya.
Seketika itu juga rona merah merambat ke seluruh wajahnya bahkan sampai ke
leher dan kedua telinganya.
“Karena apa? Apa yang sampean
sukai dari saya?”
Lelaki itu semakin menunduk
menyembunyikan wajahnya. “Saya tidak tahu,” cicitnya.
“Kang, sampean tahu bukan, bahwa saya
tidak sempurna?”
“Tidak ada yang sempurna,” timpal
lelaki itu cepat.
Perempuan itu mengambil tisyu
dihadapannya dan menuliskan sesuatu. Kemudian mengangsurkannya kepada lelaki di hadapannya.
Lelaki itu menerima dan membaca
tulisan laras di dalam hati. Kemudian hening. Tak ada suara lagi dari keduanya.
Karena jengah, Laras memutuskan angkat bicara. “Kang, sepertinya saya harus
pergi. Abah dan Nyai akan khawatir jika saya pergi terlalu lama.”
Lelaki itu mengangsurkan tisyu
itu kembali. “Saya bisa menerimanya neng. Demi Allah saya serius.”
Perempuan itu terpana, tak mampu
mengucap apa-apa.
“Apakah neng tidak mencintai saya
sama sekali?”
Perempuan itu menutup mukanya
dengan kedua telapak tangan. Ia malu, malu sekali.
“Saya berjanji akan terus
memperjuangkanmu, neng. Saya tahu saat ini saya jauh dari kata pantas. Saya
akan datang lagi dalam keadaan yang lebih baik.”
“Jangan berjanji kang”
“Saya berharap kamu mau menunggu”
“Saya pergi, Assalamualaikum”
“Neng”. “Waalaikumsalam
warohmatullah”
4.
Sore itu, sepuluh tahun silam.
Seorang ibu dan putri kesayangannya menikmati kudapan sore dan teh di halaman
belakang sambil bercengkrama.
“Ibu, bagaimana jika orang lain
tahu?”
“Tentang?”.
“Kelainanku”. Cicit Larasati
lirih
“Hey, putri ibu yang cantik. itu
bukan kekurangan sayang. Kamu spesial bukan kelainan. Lihatlah ayah dan ibu
mencintaimu. Kamu tidak perlu menghawatirkan itu.” Ujar sang ibu lembut sambil
mendekap putri semata wayangnya.
“Lalu mengapa kenyataan ini harus
selalu disembunyikan bu?”
“Hanya agar orang lain yang tidak
perlu mengetahuinya, tidak punya alasan untuk menyakitimu nak.”
“Lalu sampai kapan bu?”.
“Sampai Allah memberi
tanda-tandanya.”
“Tanda-tanda?”
“Jika ada lelaki yang tulus
mencintaimu dan kamu mencintainya, maka katakanlah yang sejujurnya.”
“Ibu, apakah ada lelaki seperti
itu? Aku takut ia ketakutan dengan kenyataan yang aku ungkapkan”
Ibu hanya diam. Aku tahu ibu juga
meragu dan tak memiliki jawaban yang mampu menenangkan.
“Bu, apakah aku boleh meminta
satu permintaan?”
“Tentu”
“Aku ingin operasi bu”
“Allah tidak menyukai perubahan
yang dipaksakan nak. Allah juga tidak menyukai perubahan yang merusak
kodratnya”
“Tetapi aku ingin menjadi
perempuan seutuhnya bu dan aku yakin Allah yang menciptakan dan menuntunku
menjadi perempuan yang baik”
Ibu menarik nafas beberapa kali
kemudian berujar “Baiklah, ibu akan membicarakan ini dengan ayah, setelah itu
mari kita kumpulkan uang dan segera lakukan operasi.”
“Terimakasih”. Aku memeluk ibu
dengan erat.
5.
Larasati tak mampu mengalihkan
pandangannya dari TV. Lelaki itu muncul lagi. Ya, lelaki yang selama ini begitu
ia rindukan. Lelaki itu sudah sukses sekarang. Lelaki yang tak pernah jengah
mengusahakannya. Bulir-bulir air menggenang dipelupuk mata. Ya Allah, ia
mencintai lelaki itu, ia mencintainya, benar-benar mencintainya.
Sudah lama berlalu dan lelaki itu masih saja menginginkannya.
Tidakkah kekurangannya sebagai perempuan yang tak mampu memberi keturunan,
mampu membuatnya mundur?.
“Bodoh, Ahmad bodoh, benar-benar
bodoh,” runtuknya.
6.
Siang itu pesantren riuh oleh
kabar yang mengejutkan. Cucu kiai yang
sudah sepuh itu akhirnya ditemukan setelah ibu dari perempuan itu menghilang
puluhan tahun silam. Kini Laras menjelma menjadi cucu tunggal. Ibu dan ayahnya
telah lama tiada karena kecelakaan sebuah pesawat. Ia yang saat itu tak turut serta
karena sibuk bekerja, terpaksa selamat dan hidup sebatang kara. Kenyataan ini
yang membuatnya memutuskan mencari kakek dan neneknya, sampai kemudian ia
berhasil menginjakkan kaki di pesantren ini.
Perangainya yang lembut, sopan
dan menyenangkan membuatnya begitu mudah disukai. Suaranya yang merdu mendayu
serta kefasihannya dalam mengaji membuatnya tak henti dupuji. Apalagi parasnya
yang ayu dan tubuhnya yang semampai semakin membuatnya cepat menjadi idola dan
buah bibir banyak orang.
Pesonanya mampu menyihir semua
lelaki, termasuk Ahmad, lelaki tampan dan pendiam, abdi ndalem kiai sendiri.
7.
Setelah mengurai pelukannya dan memutuskan
pergi tanpa salam, Larasati menumpahkan semua air matanya dalam perjalanan. Ia
tak tahu kemana motornya menuju. Yang ia tahu saat ini ia benar-benar patah
hati. Siapa pula yang tak akan hancur melihat lelaki yang begitu ia ingini, ia
cintai, juga menginginkannya dan mencintainya, namun terpaksa harus ia
lepaskan.
Siang itu cuaca berubah dingin. Mendung
melingkupi membumbung tinggi di angkasa. Tak lama tetesan hujan menyerbu bumi
serupa air mata yang tak mampu lagi ditahan. Ia menggigil, menangis
sejadi-jadinya.
“Allah, mengapa sesulit ini”. Lirihnya
sambil sesenggukan
Ia terus saja mengendarai
motornya tanpa arah. Dibawah guyuran hujan ia merutuki nasibnya. Bertanya apakah
ini hanya lelucon dari Tuhan. Apakah ini mimpi yang akan berakhir jika ia
terbangun. Mempertanyakan mengapa begitu sulit untuknya jatuh cinta dan
dicintai, menginginkan dan dimiliki.
Dibawah guyuran hujan ia
menangis. Menangis dan terus menangis. Kenyataan yang selama ini ia sembunyikan
dan benar-benar ingin ia lupakan, datang kembali dan mencekik saraf-sarafnya. Ia
benar-benar ingin menghapus kenyataan jika dulu ia adalah perempuan berpenis. Hanya
Allah, kedua orang tuanya dan Ahmad yang tahu. Ya, Ahmad tahu dan bersedia
menerima ia apa adanya.
Meski beberapa tahun yang lalu ia
telah memangkas dan mengubahnya menyerupai vagina, dan operasi itu telah
berhasil dengan baik. Hanya saja ia tetap merasa belum menjadi perempuan
seutuhnya. Ia paham terlalu jahat jika menerima pinangannya dan memutuskan hidup
dengan lelaki itu. Bagaimanapun selamanya ia tak akan pernah mampu memberinya keturunan.
Ia tahu itu. Paham dan sangat paham. Ia masih menangis tanpa pernah tahu kapan
duka dan tangisnya akan berhenti.
“Allah, aku hanya ingin dicintai
dan mencintai, serta diinginkan dan menginginkan, diperjuangkan, memperjuangkan, serta memiliki tanpa berarti
menyakiti. Memiliki yang bukan berarti menyakiti.”
***
*Keterangan
Neng : Panggilan untuk cucu atau putri perempuan kiai
yang masih muda.
Kang
:
Panggilan untuk murid pesantren putra. Jika murid pesantren putri biasa
dipanggil ‘mbak’.
Sampean : Bahasa Jawa halus yang berarti ‘kamu’
Abdi ndalem :
Seseorang yang membantu keperluan domestik keluarga pesantren, seperti menyapu, memasak dll.
Ndak :
Bahasa jawa berarti ‘tidak’
*Cerpen ini ditulis guna materi diskusi tentang queer.