Kamis, 09 Juni 2016

Berkah Setumpuk Jenggot

Bahauddi Amyasi
Penggiat Tulis Menulis dan Menteri Pendidikan BEM F. Tarbiyah 2010
@Bahauddin_ID

Engkau pasti sulit menemukan seseorang semacam dia. Da'i paling nyentrik se-Indonesia. Ia pernah jadi khotib sidang Jum'at tanpa duduk di antara kedua sesi khotbahnya. Jika engkau suka mengelompokkan karakter seseorang lewat fisiognomi, kesulitan itu akan tambah membuatmu kebingungan: wajahnya bulat penuh dan "berwibawa", tubuhnya tegap seperti Mahapatih Gajah Mada. Tapi jika keluwesan emosinya melanda, ia bisa sentimentil melebihi gadis perawan saja. Hatinya benar-benar peka. Dan sekarang, berkah keluwesannya, ia benar-benar menjadi Mahapatih bagi komunitasnya. 
Dia sangat super serius dengan profesinya, tapi lebih sangat amat super-duper serius lagi tentang puisi-puisinya. Tiap malam ia menyelipkan sajak-sajak doa untuk istrinya. Kata dia, itu isyarat kekekalan cinta. Maka, setelah lama menduda, ia sangat selektif memilih perempuan untuk jadi pendamping sisa-sisa hidupnya.
Dari saking selektifnya, ia bahkan menyeleksi status-status dan tag-tag dari siapa saja yang boleh "nongkrong" di beranda fesbuknya. Menyortir kiriman-kiriman foto yang berjubelan dari penggemar-penggemarnya, entah penggemar beneran, pengggemar guyonan, mungkin juga penggemar suaranya, atau hanya penggemar jenggotnya yang penuh karisma.  
Soal jenggot, engkau pasti menganggap statemennya sebagai lelucon. "Santai saja, ini bukan jenggot ideologi, tapi hanya sekedar aksesori," serunya sambil mengelus jenggotnya yang tak ada duanya di dunia. Dan, ia tak sedang mengarang cerita saat berkilah bahwa berkat jengggotlah alur hidupnya bisa berubah. Ia diterima menjadi penyiar di sebuah stasiun radio swasta milik para pengusung khilafah untuk menggusur Indonesia raya. "Jenggot ideologi" menjadi salah satu platform dan mode gerakan mereka.
Tak tanggung-tanggung. Ia dipercaya untuk mengasuh acara "Jelajah Al-Quran", padahal dulu kitab itu jarang disentuhnya, jarang dikajinya. Tapi rute hidup manusia tak bisa diterka. Apa yang ditekuninya dulu, ketika mengejar almarhumah istrinya, dengan cara mengiriminya bebait puisi, merekam suara cemprengnya dengan laptop bututnya, sekarang malah megantarkannya menjadi penyiar ternama. Gus Aab pangggilan udaranya. Engkau harus percaya itu bukan kebetulan belaka. Itu hasil jihad fi sabilillah namanya.  
Dibalik kekar tubuhnya yang kau kira seperti instruktur fitness, ia tetaplah lelaki romantis, mungkin sedikit melankoli, tapi sanggup mencintai istrinya sepenuh hati, sampai mati. Itu kenapa ia bisa akrab dengan bebaris puisi. Bahkan mampu mengucurkan air mata saat membaca kisah-kisah penuh haru yang mirip perjalanan hidupnya. 
Saya yakin istrinya sedang damai di sorga. Engkau pasti percaya. Dan tulisan ini tidak berpretensi apa-apa, hanya sekedar karangan bunga atas ketabahan hatinya. Lelaki yang saya ceritakan ini, engkau tahu, adalah sahabat sejati saya, yang dulu pernah tak menyapa saya berbulan-bulan lamanya, hanya lantaran kedunguan buta, kesempitan rongga dada, dan fanatisme tanpa makna, dalam memperjuangkan komunitas eks yang kebingungan menentukan plot rangkaian perjalanan ceritanya.  
Pada akhirnya, engkau harus yakin bahwa coretan saya ini adalah lembar pertama untuk membuka kembali cerita-cerita heroiknya saat mengejar cintanya, lalu menikahi perempuan yang dicintainya, lalu sederet riwayat keluarganya, lalu suka-dukanya, lalu tawa-tangisnya, dan lalu-lalu yang lainnya. Ia berjanji kepada saya untuk megabadikannya dalam catatan kenangan penuh cinta. 
Engkau, pembaca tulisan ini, adalah saksi nyata, betapa ocehan tak berharga ini adalah ikrar saya dalam membidani kelahiran ceritanya. Kita tunggu saja. BA


(PE)SANTRI(AN)

Zaini Thamim
Gubernur Fakultas Tarbiyah 2011, Sekretaris Cabang PMII Surabaya Selatan 2012
@ZaiNino9


Kini sudah 9 Juni. Angka 9 bagi penulis selalu istimewa; sebingkai kisah dengan “perhiasan” sejarah. Namun bukan kisah yang akan diurai dalam coretan sederhana ini. Ini tentang Ramadhan; bulan refleksi bagi manusia dan semesta. Di bulan ini pula realitas keberagamaan – dengan ritual dan tradisinya – menjadi ciri yang melekat dengan batas. Sekolah/kampus misalnya. Sekolah seakan berlomba-lomba menyelenggarakan sebuah agenda tahunan dengan tema “pondok ramadhan” atau “pesantren ramadhan”. Dengan agenda itu diharap anak didik akan menjadi santri dalam satu waktu. Di sisi lain, doktrin agama seakan diset-up agar anak didik memperoleh pengetahuan dan merubah sikap. Padahal, pondok/pesantren ramadhan bukan pesantren. Ia hanya serangkaian acara yang dikemas dengan nuansa agama lengkap dengan dogma-dogma.
Sementara pesantren tidak sama dengannya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan dengan ciri khas tersendiri. Pesantren menjadi bagian masyarakat Indonesia dari dulu hingga saat ini. Sebelum Islam hadir di Indonesia, lembaga serupa pesantren ini sudah ada, dan Islam hadir mengintegrasikannya. Jadi, pesantren merupakan hasil akulturasi kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan kebudayaan Islam, kemudian menjelma menjadi suatu lembaga yang kita kenal sebagai pondok pesantren sekarang ini.
Sistem pendidikan pesantren mengadopsi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Abdurrahman Wahid, menyebutnya dengan istilah subkultur. Ada tiga elemen yang mampu membentuk pesantren sebagai subkultur : 1) pola kepemimpinan pesantern yang mandiri, tidak terkooptasi oleh negara. 2) kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad. 3) sistem nilai yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Tiga elemen ini menjadi ciri yang menonjol dalam perkembangan pendidikan di pesantren. Subkultur tersebut dibangun komunitas pesantren senantiasa berada dalam sistem sosial budaya yang lebih besar.
Dengan demikian, sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dalam banyak hal merupakan hasil adaptasi dari pola-pola pendidikan yang telah ada dikalangan masyarakat Hindu-Budha sebelumnya. Jika ini benar, maka ada relevansinya dengan asumsi bahwa pesantren mendapat pengaruh dari tradisi lokal. Model pendidikan agama jawa yang diadaptasi itu disebut pariwayatan, berbentuk asrama dengan rumah pengajar. Sistem pendidikan ini diambil dengan mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran Islam. Pengambilan model meniru dan mengganti ini juga terjadi dalam sistem pewayangan.
Proses adaptasi sistem pendidikan itulah yang menguatkan penilaian selama ini bahwa pendidikan pesantren disebut sistem pendidikan produk Indonesia. Nurcholish Madjid, menyebut dengan istilah indegenous. Sistem pendidikan asli Indonesia ini pernah menganut dan memiliki daya tawar yang tinggi sebagai antitesis terhadap sistem pendidikan Belanda. Karel A. Streenbrink mengungkapkan bahwa pada 1930-an, sistem pondok pesantren yang sering disebut sistem pendidikan asli Indonesia dapat menyaingi pendidikan Barat yang materialistis.
Sistem pendidikan ini membawa nilai, antara lain : pertama, pengasuh mampu melakukan pemantauan secara leluasa hampir setiap saat terdapat perilaku santri baik yang terkait dengan upaya pengembangan intelektualnya maupun kepribadiannya. Kedua, adanya proses pembelajaran dengan frekuensi yang tinggi dapat memperkokoh pengetahuan yang diterimanya. Ketiga, adanya proses pembiasaan akibat interaksinya setiap saat baik sesama santri, santri denga ustadz maupun santri dengan kiai. Keempat, adanya integrasi antara proses pembelajaran dengan kehidupan keseharian.
Pendidikan pesantren menunjukkan sifat dan bentuk yang lain dari pola pendidikan pada umumnya. Maka pesantren menghadapi dilema untuk mengintregasikan sistem pendidikan yang dimiliki dengan sistem pendidikan nasional. Ditinjau dari awal mula berdirinya, pesantren memang tidak dimaksudkan untuk meleburkan dalam sistem pendidikan nasional. Bahkan ketika zaman kolonial Belanda, pesantren memiliki strategi isolasi dan konservasi. Konsekuensinya, berbagai citra negatif diarahkan pada pesantren. Pesantren seringkali dinilai sebagai sistem pendidikan yang isolasionis - terpisah dari aliran utama pendidikan nasional, dan konservatif yakni kurang peka terhadap tuntutan perubahan zaman dan masyarakat. Fungsi konservatif terlihat pada upayanya menjaga ajaran Islam.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki unsur utama yang berbasiskan pada subyek manusia, yakni kiai dan santri. Hubungan relasional antara keduanya melahirkan suatu bentuk komunikasi edukatif dalam proses pembelajaran di pesantren. Kiai adalah seorang pengajar pendidik, pengelola, guru (ustadz) dan sekaligus pemangku pesantren. Di sisi lain, ia adalah central figure yang menjadi pusat kebijakan dan kebijaksanaan. Dan santri sebagai siswa yang belajar kepada sang kiai untuk mendapatkan ilmu dan barokah. Maka jelas, pesantren memiliki karakteristiknya tersendiri dibanding dengan lembaga atau proses pendidikan lain. Secara tradisional, sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren mensinergikan pengembangan intelektual dan aspek kepribadian. Sehingga sikap, intelektualitas, dan karakter “digembleng” dan dibentuk di sini. ZT

Rabu, 01 Juni 2016

Larasati

Oleh: Ulum Arifah
Twitter: @ulumarifah
Nyatanya semua ini hanya Ilusi.
Sketsa buram dari pikiranku sendiri.
Kita terbelenggu asa yang menggebu.
Tapi pincang tanpa nyali.
1.
Sejak tadi perempuan berparas ayu itu tak dapat menyembunyikan kegelisahannya dengan meremas-remas ujung jilbab. Ia sudah duduk manis di atas motor, namun hatinya masih saja resah. Bagaimana jika keputusannya kali ini salah?.

“Neng, Bisakah kita bertemu?”. Pesan pendek Ahmad membuyarkan munajad kepadaNya di sepertiga malam terakhir pagi ini. Perempuan dengan mukena putih kebiruan itu menimbang-nimbang, balasan apa yang seharusnya ia berikan kepada lelaki ini. Akhirnya jarinya yang lentik membalas, “di pantai palu kuning, sebelum waktu dhuha.”

Satu jam berlalu, motor yang ia tunggangi akhirnya berhasil mengantarkannya ke tempat yang ia tuju, pantai yang tersembunyi. Ia menemukan lelaki yang begitu ingin ia miliki duduk selonjoran menghadap pantai.

Perempuan itu duduk di samping lelaki yang masih mengisi separuh relung hatinya itu, diam, hingga beberapa waktu.

“Neng, maaf,” ujarnya lirih. Debur pantai semakin mengaburkan suaranya.

“Untuk?”

“Aku akan menikah”

Perempuan itu mengatur nafasnya. Sejak lama ia paham jika ini pasti akan terjadi. “Jadi, perempuan mana yang beruntung itu, Kang?” Ucapnya tenang sambil memandang lurus ke matahari yang muncul malu-malu. 

“Kamu tau aku lebih beruntung jika memilikimu, neng.”


“Sampean tahu aku tak mungkin dimiliki.”

“Itu asumsimu saja.”

“Kita sudah pernah membicarakan ini.”

Kini giliran lelaki itu yang mengatur nafas. Ia lelah, amat sangat lelah. Perempuan di sampingnya ini begitu membuatnya kelelahan. Larasati adalah sosok perempuan yang luar biasa keras kepala namun bertutur lembut, anggun dan memikat. Persetan dengan kekurangannya. Ia telah dibuat jatuh hati dan menyerah di saat yang sama.

“Kapan?”

“Enam bulan lagi.”

“Lalu?”

“Jika kamu berubah pikiran, aku masih bisa mengubah nama pengantinnya dengan namamu.”

“Itu akan menyakiti perempuanmu.”

“Tapi ini menyakitiku.”

“Kang,” ujarnya lirih sambil menoleh. “Anggaplah ini permintaanku yang terakhir, bolehkah aku menciummu.”

Lelaki itu tak menyahut. Kemudian berbalik memandang perempuan di sampingnya. Mencoba menyelami kedalaman matanya. Mereka saling menatap, diam dan terpaku.

Kemudian tangan lelaki itu menggenggam jari tanggan larasati dengan lembut. Jarak semakin terkikis di antara keduanya. Hingga pelukan hangat terasa di tubuh larasati. Sekejap perempuan itu seperti kehilangan kewarasan, terlalu takjub dengan getaran yang pertama kali ia rasakan.

“Kamu serius?”

Perempuan itu hanya mengangguk dalam dekapannya.

Lelaki itu bergerak mengikuti naluri. Mendekap kepala perempuan itu dengan kedua tanggannya. Mengarahkannya pelan untuk di kecupnya. Ia benar-benar mengecupnya, mengecup bibirnya, pelan, pelan sekali.

Pantai yang sepi, angin bertiup malu-malu dan sinar  matahari yang hangat, manuntunnya untuk mencium Larasati sekali lagi. Kali ini kecupan itu berubah menjadi pagutan yang membuat keduanya kehabisan nafas.

“Neng, apakah ini berarti keputusanmu berubah?”

“Tentu saja tidak.”

Debur pantai terdengar nyaring. Menelan keheningan diantara kedua manusia itu. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Bagaimana mungkin kamu tega menolakku tetapi menjadikan dirimu perempuan pertama yang menikmati sentuhanku dan mengijinkanku menikmati bibirmu?” Ujar lelaki itu putus asa.

“Anggap saja ini kenang-kenangan,” jawabnya lirih.

Perempuan itu memelukanya erat dan menikmati bibir lelaki itu sekali lagi.

“Neng, aku mencintaimu,” ujar lelaki itu lirih di telinga wanita dalam pelukannya.

Larasati memandang lurus ke manik mata lelaki itu. “Aku tahu”. Kemudian ia menguraikan pelukannya dan pergi.

2.
Menjadi cucu tunggal dengan harapan mampu meneruskan keturunan, umur lebih dari seperempat abad dan pertanyaan-pertanyaan mengapa semua lamaran selalu ditolaknya mentah-mentah, bukanlah kombinasi yang menyenangkan. Nyai dan Abah sepertinya sudah mulai bosan dan kelelahan mempertanyakan semua itu.

Ia ingat dengan benar, suatu sore Nyai mengelus pipinya dengan tangannya yang keriput karena dimakan usia. Menanyakan apakah ia punya kekasih. Lelaki seperti apa yang sebenarnya ia inginkankan. Larasati tahu bahwa kedua orang yang sudah sepuh itu tak mungkin memaksanya. Ya, kakek dan nenek tak mungkin memaksanya. Mereka mungkin takut ia pergi seperti yang dulu terjadi kepada ibunya. Ibunya yang luar biasa itu, lebih memilih pergi menyusul ayahnya. Dulu mereka tak direstui karena ayahnya hanyalah orang biasa. Kini ia mengulangi kesalahan yang sama. Lelaki yang diam-diam dicintainya juga serupa dengan ayahnya. Bahkan terlalu serupa. Tentu ia ingin menikah, tetapi masalah yang ia alami begitu rumit. Perempuan itu juga ingin bahagia, tetapi ia bisa apa?

3.
Disuatu pagi Larasati dikejutkan dengan sepucuk surat yang tergeletak dibawah pintu kamarnya. Surat dari lelaki yang dulu sering berada di kediaman kakeknya. Lelaki yang sama yang selama ini diam-diam telah mencuri hatinya. “Assalamualaikum. Jika ini benar surat darimu kang, mari kita bertemu di RM. Rumput Laut sore ini pukul dua. Saya pastikan saya akan datang”. Perempuan itu dengan cepat mengirim pesan ke nomer lelakinya itu.

Larasati terlihat anggun sore itu dengan jilbab merah jambu dan aksesoris kecil yang membuatnya semakin terlihat manis. Setelah memastikan motornya aman, ia masuk ke RM rumput laut. Ia memutar kepala mencari sosok yang ingin ia temui. Lelaki itu, duduk ujung ruangan,  memunggungi pintu. Sepertinya ia tak menyadari kedatangannya.

“Assalamualikum,” sapa perempuan itu ramah.

“Waalaikum salam,” lelaki itu kaget. Seketika mempersilahkannya untuk duduk.

Kemudian hening. Lelaki itu seperti hendak mengucapkan sesuatu namun tak kunjung mengucap sepatah katapun.

“Sampean seperti terlihat ingin mengatakan sesuatu. Katakanlah, kang.”

Lelaki itu terlihat ragu, namun akhirnya ia mengangkat suara, “seharusnya kita tak perlu bertemu seperti ini. Neng, ini ndak baik. Neng bisa membalas surat saya dengan cara yang sama atau bekirim pesan seperti biasa. Saya bisa menerimanya.”

 “Dan saya tidak memiliki jawaban yang bisa disampaikan lewat pesan atau surat”.

Lelaki itu tiba-tiba mendongak melihat mata Larasati kemudian menunduk lagi seraya beristighfar lirih.

“Apakah ini berarti penolakan?”
“Iya.”
“Baiklah saya mengerti.”
“Apakah sampean tidak mau mendengar alasannya?”

“Saya paham, neng. Saya tahu diri. Saya tahu seharusnya saya tak lancang mengirim surat untuk mengkhitbahmu. Maaf, jika sebelumnya bahkan saya sempat berpikir untuk langsung menemui kiai.”

“Lalu mengapa sampean tidak langsung menemui abah, malah justru mengirimi saya surat terlebih dahulu?”

“Saya tidak ingin sampean terpaksa menerima saya, neng. Saya menginginkan kesediaan neng terlebih dahulu.”

“Oh, itu berarti sampean sudah sangat yakin jika abah pasti menerimamu?”

“Maaf,” Ujarnya lirih. Mukanya memerah karena menahan malu.

Laras tak menjawab dan memilih sibuk dengan pikirannya sendiri. “Duh Gusti, lelaki sejujur, setulus dan semurni ini bagaimana tidak membuatku semakin jatuh hati. Ya Allah, bagaimana ini.”

“Saya pesankan makanan dan minuman dulu neng, sampean mau pesan apa?” pertanyaan ahmad membuyarkan lamunan perempuan itu.

 “Oh saya jus alpukat dan bakso satu tanpa mie. Terimakasih,” sahutnya sambil tergagap.

Setelah pesanan datang dan keduanya telah menghabiskan pesanan masing masing, percakapan dimulai kembali.

“Kang, apakah sampean mencintai saya?”

Lelaki itu tak menjawab. Kulitnya yang putih dan parasnya yang tampan tak mampu menyembunyikan perasaannya. Seketika itu juga rona merah merambat ke seluruh wajahnya bahkan sampai ke leher dan kedua telinganya.

“Karena apa? Apa yang sampean sukai dari saya?”

Lelaki itu semakin menunduk menyembunyikan wajahnya. “Saya tidak tahu,” cicitnya.

“Kang, sampean tahu bukan, bahwa saya tidak sempurna?”

“Tidak ada yang sempurna,” timpal lelaki itu cepat.

Perempuan itu mengambil tisyu dihadapannya dan menuliskan sesuatu. Kemudian mengangsurkannya kepada lelaki di hadapannya.

Lelaki itu menerima dan membaca tulisan laras di dalam hati. Kemudian hening. Tak ada suara lagi dari keduanya. Karena jengah, Laras memutuskan angkat bicara. “Kang, sepertinya saya harus pergi. Abah dan Nyai akan khawatir jika saya pergi terlalu lama.”

Lelaki itu mengangsurkan tisyu itu kembali. “Saya bisa menerimanya neng. Demi Allah saya serius.”

Perempuan itu terpana, tak mampu mengucap apa-apa.

“Apakah neng tidak mencintai saya sama sekali?”

Perempuan itu menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Ia malu, malu sekali.

“Saya berjanji akan terus memperjuangkanmu, neng. Saya tahu saat ini saya jauh dari kata pantas. Saya akan datang lagi dalam keadaan yang lebih baik.”

“Jangan berjanji kang”

“Saya berharap kamu mau menunggu”

“Saya pergi, Assalamualaikum”

“Neng”. “Waalaikumsalam warohmatullah”

4.
Sore itu, sepuluh tahun silam. Seorang ibu dan putri kesayangannya menikmati kudapan sore dan teh di halaman belakang sambil bercengkrama.

“Ibu, bagaimana jika orang lain tahu?”

“Tentang?”.

“Kelainanku”. Cicit Larasati lirih

“Hey, putri ibu yang cantik. itu bukan kekurangan sayang. Kamu spesial bukan kelainan. Lihatlah ayah dan ibu mencintaimu. Kamu tidak perlu menghawatirkan itu.” Ujar sang ibu lembut sambil mendekap putri semata wayangnya.

“Lalu mengapa kenyataan ini harus selalu disembunyikan bu?”

“Hanya agar orang lain yang tidak perlu mengetahuinya, tidak punya alasan untuk menyakitimu nak.”

“Lalu sampai kapan bu?”.

“Sampai Allah memberi tanda-tandanya.”

“Tanda-tanda?”

“Jika ada lelaki yang tulus mencintaimu dan kamu mencintainya, maka katakanlah yang sejujurnya.”

“Ibu, apakah ada lelaki seperti itu? Aku takut ia ketakutan dengan kenyataan yang aku ungkapkan”

Ibu hanya diam. Aku tahu ibu juga meragu dan tak memiliki jawaban yang mampu menenangkan.

“Bu, apakah aku boleh meminta satu permintaan?”

“Tentu”

“Aku ingin operasi bu”

“Allah tidak menyukai perubahan yang dipaksakan nak. Allah juga tidak menyukai perubahan yang merusak kodratnya”

“Tetapi aku ingin menjadi perempuan seutuhnya bu dan aku yakin Allah yang menciptakan dan menuntunku menjadi perempuan yang baik”

Ibu menarik nafas beberapa kali kemudian berujar “Baiklah, ibu akan membicarakan ini dengan ayah, setelah itu mari kita kumpulkan uang dan segera lakukan operasi.”

“Terimakasih”. Aku memeluk ibu dengan erat.

5.
Larasati tak mampu mengalihkan pandangannya dari TV. Lelaki itu muncul lagi. Ya, lelaki yang selama ini begitu ia rindukan. Lelaki itu sudah sukses sekarang. Lelaki yang tak pernah jengah mengusahakannya. Bulir-bulir air menggenang dipelupuk mata. Ya Allah, ia mencintai lelaki itu, ia mencintainya, benar-benar mencintainya.

Sudah lama berlalu  dan lelaki itu masih saja menginginkannya. Tidakkah kekurangannya sebagai perempuan yang tak mampu memberi keturunan, mampu membuatnya mundur?.

“Bodoh, Ahmad bodoh, benar-benar bodoh,” runtuknya.

6.
Siang itu pesantren riuh oleh kabar yang mengejutkan.  Cucu kiai yang sudah sepuh itu akhirnya ditemukan setelah ibu dari perempuan itu menghilang puluhan tahun silam. Kini Laras menjelma menjadi cucu tunggal. Ibu dan ayahnya telah lama tiada karena kecelakaan sebuah pesawat. Ia yang saat itu tak turut serta karena sibuk bekerja, terpaksa selamat dan hidup sebatang kara. Kenyataan ini yang membuatnya memutuskan mencari kakek dan neneknya, sampai kemudian ia berhasil menginjakkan kaki di pesantren ini.

Perangainya yang lembut, sopan dan menyenangkan membuatnya begitu mudah disukai. Suaranya yang merdu mendayu serta kefasihannya dalam mengaji membuatnya tak henti dupuji. Apalagi parasnya yang ayu dan tubuhnya yang semampai semakin membuatnya cepat menjadi idola dan buah bibir banyak orang.

Pesonanya mampu menyihir semua lelaki, termasuk Ahmad, lelaki tampan dan pendiam, abdi ndalem kiai sendiri.

7.
Setelah mengurai pelukannya dan memutuskan pergi tanpa salam, Larasati menumpahkan semua air matanya dalam perjalanan. Ia tak tahu kemana motornya menuju. Yang ia tahu saat ini ia benar-benar patah hati. Siapa pula yang tak akan hancur melihat lelaki yang begitu ia ingini, ia cintai, juga menginginkannya dan mencintainya, namun terpaksa harus ia lepaskan.

Siang itu cuaca berubah dingin. Mendung melingkupi membumbung tinggi di angkasa. Tak lama tetesan hujan menyerbu bumi serupa air mata yang tak mampu lagi ditahan. Ia menggigil, menangis sejadi-jadinya.

“Allah, mengapa sesulit ini”. Lirihnya sambil sesenggukan

Ia terus saja mengendarai motornya tanpa arah. Dibawah guyuran hujan ia merutuki nasibnya. Bertanya apakah ini hanya lelucon dari Tuhan. Apakah ini mimpi yang akan berakhir jika ia terbangun. Mempertanyakan mengapa begitu sulit untuknya jatuh cinta dan dicintai, menginginkan dan dimiliki.

Dibawah guyuran hujan ia menangis. Menangis dan terus menangis. Kenyataan yang selama ini ia sembunyikan dan benar-benar ingin ia lupakan, datang kembali dan mencekik saraf-sarafnya. Ia benar-benar ingin menghapus kenyataan jika dulu ia adalah perempuan berpenis. Hanya Allah, kedua orang tuanya dan Ahmad yang tahu. Ya, Ahmad tahu dan bersedia menerima ia apa adanya.

Meski beberapa tahun yang lalu ia telah memangkas dan mengubahnya menyerupai vagina, dan operasi itu telah berhasil dengan baik. Hanya saja ia tetap merasa belum menjadi perempuan seutuhnya. Ia paham terlalu jahat jika menerima pinangannya dan memutuskan hidup dengan lelaki itu. Bagaimanapun selamanya ia tak akan pernah mampu memberinya keturunan. Ia tahu itu. Paham dan sangat paham. Ia masih menangis tanpa pernah tahu kapan duka dan tangisnya akan berhenti.

“Allah, aku hanya ingin dicintai dan mencintai, serta diinginkan dan menginginkan, diperjuangkan,  memperjuangkan, serta memiliki tanpa berarti menyakiti. Memiliki yang bukan berarti menyakiti.”
***

*Keterangan
Neng                     : Panggilan untuk cucu atau putri perempuan kiai yang masih muda.
Kang                     : Panggilan untuk murid pesantren putra. Jika murid pesantren putri biasa dipanggil ‘mbak’.
Sampean               : Bahasa Jawa halus yang berarti ‘kamu’
Abdi ndalem         : Seseorang yang membantu keperluan domestik keluarga pesantren, seperti menyapu, memasak dll.
Ndak                     : Bahasa jawa berarti ‘tidak’

*Cerpen ini ditulis guna materi diskusi tentang queer. 

Senin, 09 Mei 2016

ILUSI REFORMASI; Sketsa Historis dan Realitas Politis

Zaini Thamim
Gubernur Fakultas Tarbiyah 2011, Sekretaris Cabang PMII Surabaya Selatan 2012
@ZaiNino9
          
Masih di bulan Mei. Bulan penuh kesan, mimpi dan tragedi. Sebuah saat dengan momen menakjubkan dengan refleksi-refleksi. Mei 1998, sebuah negeri terguncang, tegang, dan suasana menakutkan. Ribuan orang berdemonstrasi, menyusuri jalan, membakar ratusan kendaraan, membumihanguskan bangunan, dan merusak apa saja yang memakai simbol kekuasaan. Sudah sekian masa - pada masa ketika pers belum dijerat ketat oleh penguasa - para aktivis dan intelektual menyuarakan kecaman mereka kepada penguasa. Dan hari itu aksi massa tak terbendung.
Perubahan; mungkin itu yang dibayangkan. Namun, nampaknya, hari itu yang terjadi sebuah lakon tanpa ide. Ide tanpa pemikiran matang. Sehingga emosi yang terpakai. Lenin, cenderung melihat people power sebagai langkah untuk perubahan radikal yang bukan hanya disertai gerakan ideologi, tapi juga berkait dengan sebuah gagasan yang tak cuma datang dari akal, melainkan dari benturan dengan keadaan.
Lenin, bertolak dari telaah tentang keadaan sosial dan ekonomi. Dari telaah itu disusun ”program umum” dan ”program khusus”. Dalam strategi dan taktik itu perebutan kekuasaan politik jadi soal penting. Jelas juga pihak yang akan memimpin, jelas pula sistem politik dan ekonomi yang akan diterapkan.
Revolusi Prancis, memang tak tampak berangkat dari ”rencana”, tapi, seperti dikatakan Lenin, itu juga sebuah revolusi besar: dengan itu dasar baru masyarakat diletakkan dan tak bisa diubah lagi. Perebutan kekuasaan, Sang Raja dipenggal, bahkan jadi pertanda zaman baru: tak ada lagi yang kekal di tahta itu. Revolusi Prancis juga tak hanya meletus dari konflik sosial, dan sebab itu melibatkan orang ramai. Ia sambungan cita-cita yang lahir dari konflik sosial itu - yang dirumuskan oleh para pemikir dan disaripatikan dalam semboyan liberte, egalite, fraternite.

- 1998; Sisa Transisi Kuasa -
Dengan sedikit persuaian, kita bisa mengatakan, yang terjadi di tahun 1998 adalah sebuah transformasi. Karena sejak itu, ketika kekuasaan berpindah tangan dari “raja” orde baru, Indonesia tak bisa ditarik kembali ke kerangkeng ideologi berbaju pembangunanisme. Bertahun-tahun sebelumnya, gagasan tentang sebuah bangsa dicanangkan, dan sejak 1990-an bangsa ini bersedia mati untuk kebebasan.
1998. Kita tak tahu persis bagaimana keadaan waktu itu. Kita tak ada di masa itu. Dari sebuah bangku di sekolah, barangkali kita hanya mendapat kabar parsial tentang aksi mahasiswa yang tiada henti. Dan di dunia kampus, kita kemudian paham bahwa ada kerja sama mahasiswa dengan rakyat, mengusung satu misi pembebasan. Ya, ada hal-hal yang mengerikan dan mencekam. Pelan-pelan tampak bahwa militer ingin mengambil alih gerak perubahan politik dengan rezim yang dianggap “baru” itu.
Namun, membaca sejarah itu, kita bisa tahu, ada hasrat demokratisasi yang kuat di tahun 1998, ketika para aktivis menggulingkan sistem demokrasi (meminjam bahasa Gus Dur) “Raja Jawa”. Suara untuk mengukuh¬kan hak-hak asasi manusia terdengar nyaring, usaha me¬negakkan kemerdekaan pers dan rule of law sangat bising.
Apa yang dicita-citakan itu kemudian memang dikhianati. Namun yang terjadi bukan hanya kemarahan. Juga bukan hanya rencana perubahan kekuasaan. Yang terjadi adalah gerakan untuk gagasan yang datang dari mulut yang terbungkam dan perut yang tak tenang. Setelah 1998, demokrasi memang dihembuskan, kebebasan pers didengungkan, tapi ada yang sejak itu tak dapat diganti: sistem ”kekerabatan”, transaksi kekuasaan, dan tradisi keraton cendana yang masih terpatri. Lebih dari itu, kebebasan yang inginkan membuat kita terbuai, berada di zona “nyaman”, hingga terjebak dalam sebuah zaman yang tanpa kendali. Kemudian, era digital datang, ia membelai, tapi menggerus bahkan memasung gerak hanya dalam sebuah “pesan”.

- Paradoks Reformasi -
Reformasi? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Kata itu barangkali tak disebut. Tapi ia punya pesona tersendiri: dalam historiografi populer Indonesia, ”reformasi” dikaitkan dengan sepatah kata yang ganjil: ”angkatan”. Kata ini tak jelas asal-usulnya dan sebetulnya membingungkan maknanya. Namun ia dipakai terus. Ia berarti ”ge-nerasi”, tapi ia mengandung juga kesan ”perjuangan” dan ”kekuatan” yang amat gagah. Maka ”Angkatan ’98” terunggah.
Setelah 1998, tak ada lagi yang ditahbiskan dengan sebutan ”reformasi”. Peristiwa itu seolah tak punya dampak sosial yang berlanjut. Bahkan bisa disebut, amuk hari itu hanya bagian sebuah operasi gerakan massa, selapis tabir untuk menutupi konflik antara para jenderal pendukung orde baru, lengkap dengan dusta dan propagandanya - sebuah fragmen sejarah yang kelak wajib lebih jelas diungkapkan.
Tapi bahwa itu terjadi, di sebuah masa, menunjukkan betapa mudahnya reformasi meledak. Meskipun harus dicatat: reformasi seperti binatang liar: sekali dilahirkan, ia tak bisa dikendalikan. Amarah yang meledakkannya dan gairah yang menyertainya tak bisa cuma aksi. Tiap usaha selalu politis, akan tampak riuh, lalu absurd. Seperti “sabda” Marx: ”peristiwa besar dalam sejarah bisa diulangi; kali pertama berupa tragedi, kali kedua berupa utopi.”
Itu sebabnya reformasi bisa dilakukan, tapi ia tak bisa dipesan, dan pada akhirnya sulit dikendalikan. Seperti sejarah, reformasi punya saatnya sendiri untuk lahir. Kata Gus Dur, ia adalah buah panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam. Sehingga baranya tersebar dan membakar Negeri ini hingga gersang. Ada pembungkaman yang terjadi, ketika reformasi dilembagakan dalam program partai, hukum, atau ideologi. Oleh karenanya, generasi muda harus menentukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan dan harga diri NKRI. Jika tidak, maka reformasi hanyalah ilusi.
Salam pramuka! (ZT)


Selasa, 03 Mei 2016

Merebut Kembali Kendali Tubuh Perempuan

Kita selalu kembali menemukan jati diri sebagai pusat dari kepuasan seksual laki-laki, bentuk dan fungsi kontrol sosial terhadap perempuan (La Coveney et al, 1984:9)

           Dalam istilah jawa, ‘Perempuan’  di sebut ‘Wanito’, dianggap sebagai sebuah akronim dari ‘wani ditoto’. Istilah ini berarti ‘berani diatur’ atau ‘harus mau diatur’. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa perempuan sudah kodratnya untuk diatur dan mau diatur. Selain itu perempuan juga seringkali diibaratkan sebagai tulang rusuk. Sebuah tulang yang jika tidak diluruskan, maka selamanya akan bengkok. Karena ibarat penciptaan dari tulang rusuk inilah, perempuan dianggap ‘belum lurus’. Sehingga seringkali perempuan dianggap sebagai ‘warga kelasa dua’ yang harus patuh terhadap peraturan-peraturan yang diciptakan untuk mengatur (memaksa) cara hidupnya. Oleh karena itu, keadaan ini kemudian seringkali membuat perempuan tidak memiliki pilihan untuk mengekspresikan kehendaknya sendiri. Banyak sekali nilai-nilai maupun peraturan-peraturan yang memaksa perempuan untuk patuh. Sampai pada tahap, kepatuhan adalah sebuah keharusan dan kewajaran sehingga para perempuan tidak merasa sedang ‘dipaksa’ untuk tunduk. Padahal sejatinya nilai, norma, adat, korporasi, agama maupun negara telah berkonspirasi atau bahkan berebut untuk mengendalikan tubuh perempuan.
Norma kesopanan perempuan berada dalam lingkup ruang tatap laki-laki, dimana seorang perempuan dianggap ‘sopan’ hanya jika ia dirasa ‘tidak mengundang’ hasrat lawan jenisnya. Para pengguna busana mini ditempat umum seringkali dicaci karena dianggap ‘tidak sopan’ dimata lelaki. Perempuan dituntut untuk sopan (tertutup) ketika diluar rumah. Sedangkan ketika didalam rumah, perempuan diberikan kebebasan lebih, hanya karena ruang tatap laki-laki selain keluarga sangat minim di lingkungan itu. Dengan kata lain, tubuh perempuan dianggap aman jika hanya keluarga yang melihat. Hanya satu orang yang notabene orang lain yang diperbolehkan ‘melihat’ yaitu suami. Karena selama ini suami telah dianggap mempunyai hak penuh terhadap istrinya.
Entah disadari atau tidak, selama ini belum ada kesepakatan secara universal mengenai batasan kesopanan busana perempuan. Kriteria sopan berbeda di setiap lingkup tergantung dari kesepakatan laki-laki yang berada di wilayah itu. Ada yang menganggap sopan itu bercadar, sopan itu berkerudung, sopan itu berbaju longgar, ada juga yang menganggap rok diatas lutut juga sudah sopan. Bagaimanapun sekali lagi, kesopanan perempuan selalu saja dikalkulasi dari mata lelaki mana yang menilai dan mengawasi. Perempuan selalu saja dipaksa untuk ‘menutupi’ padahal ‘penutupan’ tubuh perempuan tidak menjamin perempuan menjadi aman di ruang privat maupun publik.
Selain segi pilihan penampilan, perempuan juga dikekang dalam segi seksualnya. Selama ini perempuan dalam konteks suami istri sering ditempatkan dalam posisi ‘melayani’ yang seringkali diartikan hanya ‘menyambut, pasrah dan manut’. Perempuan dianggap pasif, dan tak pantas memiliki kehendak sehingga sudah sepatutnya ia patuh terhadap lelakinya. Sehingga kemudian didalam pernikahan banyak perempuan yang terpaksa pura-pura orgasme karena demi menyenangkan ‘ego’ pasangannya. Banyak perempuan muslim yang percaya bahwa jika ia menolak melayani ajakan seksual suaminya ketika malam hari, maka ia akan dilaknat oleh malaikat hingga pagi. Hampir semua muslimah mempercayai itu, tanpa pernah bertanya apakah itu juga berlaku terhadap laki-laki. Apakah jika suaminya menolak ajakan bercinta si istri maka suaminya juga akan dilaknat malaikat hingga matahari muncul dari tempatnya sembunyi?.
Menurut Gadis Arivia dalam jurnal perempuan edisi 71, ada empat hal yang perlu dilakukan untuk memberdayakan kembali tubuh perempuan. Pertama, perempuan harus berani terbuka untuk berbicara soal seksualitas dan mewancanakan seksual perempuan dengan gamblang, bahwa perempuan memiliki daya seksual dan tidak menjadi sesuatu yang tabu untuk membicarakannya. Kedua, perempuan harus berani berkata “tidak” bila tidak sesuai dengan kehendak pribadinya dalam hal yang berkaitan dengan penampilan dan eksistensi dirinya. Ketiga, perempuan harus berani berkata “ya” terhadap keinginan seksualnya. Ketika perempuan telah siap untuk memutuskan berhubungan seksual, maka, keinginan tersebut harus dihormati. Keempat, perempuan harus berani belajar untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri karena keinginan seksualnya ataupun karena pilihan pakaiannya.
Memang akan selalu ada pro kontra terhadap pembahasan tentang perempuan dan seksualitas. Banyak golongan yang menganggap hal ini masih terlalu tabu untuk dibicarakan dan didiskusikan. Namun harapan dilaksanakannya diskusi feminisme dan gender Oleh KOPRI PMII Cabang Surabaya Selatan kali ini (Rabu 27 April 2016) adalah agar terbukanya prespektif baru dalam dunia perempuan di surabaya selatan. Sehingga perempuan kita, mampu dan mau mendengarkan pendapatnya sendiri dan berani bersuara. Sehingga dapat terjalin komunikasi yang baik antara gender. Sehingga kemungkinan salah tafsir dalam komunikasi bisa diminimalisir.  

Bagaimanapun akan selalu ada pihak yang tidak cocok terhadap pilihan-pilihan yang dilakukan perempuan. Oleh karena itu yang terpenting adalah ia memilih sebuah pilihan karena merasa nyaman dan bukan karena intimidasi orang lain. Karena perempuan adalah makhluk yang merdeka, dimana seharusnya ia juga memiliki hak terhadap dirinya sendiri, terutama terhadap tubuhnya. (UA)

Sabtu, 30 April 2016

May Day, fobia pemerintah terhadap kaum buruh.

Imam Sholichun
Ketua Cabang PMII Surabaya Selatan 2015-2016

May Day, itulah yang sering kita dengar di akhir bulan April, baik dalam media cetak dan elektronik. May Day bertepatan pada tanggal 1 Mei. Di banyak tempat di dunia, tanggal 1 Mei oleh masyarakat digunakan untuk berlibur dan merayakan musim semi. Namun, kebanyakan orang mengetahui bahwa May Day diperingati sebagai Hari Buruh. Hari Buruh lazim dilakukan aksi turun ke jalan oleh pekerja pabrik untuk menyuarakan tuntutan. Seperti kenaikan upah, tunjangan untuk masa tua (dana pensiun), tunjangan kesehatan, dan lain-lain.
Namun, kebanyakan orang belum mengetahui asal usul, mengapa 1 Mei ditetapkan menjadi Hari Buruh Internasional. Mengapa tidak hari diperingati pada tanggal 17 Juli, yang bertepatan pada saat terjadinya revolusi di Perancis pada tahun 1789. Malah dipilih hari 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional.
Ditetapkannya Hari Buruh pada 1 Mei, memang sangat beralasan. Hal yang mendasari ditetapkannya 1 Mei sebagai Hari Buruh adalah sejarah yang melatarbelakanginya. Pada bulan April 1986, dilakukan demontrasi oleh buruh di Kanada, yang bertujuan untuk menolak sistem kerja selama 20 jam per hari. Serta menuntut batasan bekerja selama 8 jam per hari. Setelah mekakukan aksinya, kemudian pemerintah merespon dan menyetui dengan menyetujui tuntutan mereka. Serta memberlakukanya tepat pada tanggal 1 Mei 1986.
Setelah itu, timbul semangat dan keinginan yang sama dari buruh Amerika. Oleh karenanya, pada tanggal yang sama (1 Mei),  buruh Amerika melakukan aksi selama 4 hari. Dengan maksud dan tuntutan yang sama, yakni menginginkan batasan bekerja 8 jam per hari. Namun, sesuatu terjadi pada tanggal 4 Mei, yang bertepatan hari terakhir aksi. Tidak disangka, polisi Chicago melakukan tembakan dan menewaskan 4 orang buruh. Dan peristiwa itu dikenal dengan Tragedi Haymarket, dikarenakan kejadian ini terjadi dilapangan Haymarket. Dan setelah 3 tahun peristiwa tersebut, bertepatan pada Kongres Sosialis Dunia di paris tahun 1889. Kongres menetapkan 1 Mei adalah Hari Buruh Internasional.
Alasan, mengapa Tragedi Haymarket (1886) dijadikan landasan, mekipun revolusi Perancis, lebih dahulu terjadi (1789), sebelum ditetapkannya Hari Buruh pada tahun 1889.  Hal yang mendasarinya adalah semangat yang di usung oleh buruh atau pekerjanya. Revolusi Perancis mengusung visi untuk perubahan pada bidang pemerintahannya. Sedangkan peristiwa Haymarket terjadi karena tuntutan semenang-menang oleh sektor industri kepada pekerjanya. Hal ini, yang merepresentasikan kepentingan kaum buruh.
Sedangkan, untuk peringatan Hari Buruh di Indonesia. Sejak pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang bisa disapa dengan SBY, pemerintah menetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional. Memang ada maksud untuk lebih menghormati dan memberikan hak kepada kaum buruh. Akan tetapi, menurut hemat kami, kebijakan tersebut diambil ‘murni’ karena pemerintahan Indonesia saat itu,takut akan gerakan kaum buruh.
Hal ini sangat beralasan, dikarenakan setiap rezim pasti akan bertemu dengan suatu gerakan, yang akan mengancam distabilitas rezim tersebut. Coba kita ambil contoh, waktu pemerintahan presiden Soekarno, beliau dilengserkan dari tampuk kekuasaanya lewat militer. Sama halnya yang terjadi di Portugal, Mesir dan Thailand. Pada era presiden Soeharto, dilengserkan oleh gerakan mahasiswa. Pada waktu presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, beliau dimakzulkan oleh parlementer. Kita semua mengetahui, ‘sejarah tidak akan berulang 2 kali’. Sejarah akan pelengseran presiden tidak bisa terjadi melalui cara yang sama. andaikan itu terjadi, kemungkinan terjadinya sangatlah kecil. Oleh  karenanya, mungkinpemerintahan diwaktu SBY menetapkan 1 Mei sebagai ‘hadiah’ untuk kaum Buruh. Agar tidak terjadi kudeta pemerintahan yang dilakukan kaum buruh. Seperti yang terjadi di Amerika dan perancis, atau lebih dikenal sebagai Revolusi Industri.
Dan sebagai penutup, untuk memperingati May Day. Kami berharap apa yang dilakukan oleh kaum buruh besok, disaat turun kejalan. Jangan hanya memetingkan kebutuhan kelas anda (kaum buruh), namun pikirkanlah hajat lain,  yang kami rasa jauh lebih tertidas dan terdzolimi daripada anda. Seperti, nelayan, gelandangan, anak terlantar, pengemis dan lain lain. Ssalam Pergerakan…!!! #maSsih_melawan #teruSs_berkarya

Rabu, 27 April 2016

“Hanya” Pelacur Pendidikan

Oleh 
M Waliyul Hakim
Twitter @waliyul 

Dikota metropolis seperti Surabaya ini, kita dengan mudah menemukan ANJAL (anak jalanan). Yang menurut sebagian orang bahkan ahli dalam berbagai disiplin ilmu, anak-anak ini di anggamenjadi masalah dalam pembangunan suatu negara. Anggapan ini begitu menggelitik di telinga penulis, bahkan sampai dapat mengiris hatinya. Bukan karena siapa yang mengeluarkan statement seperti itu. Namun lebih karena alasan yang mendasarinya, "kenapa?".
Menurut kekerdilan pengetahuan penulis, pendapat seperti itu perlu diklarifikasi atau malah dibuang jauh-jauh. Anjal tidak akan menjadi anjal kalau tidak ada yang membentuk, atau menciptakan mereka. Salah satu contohnya, bisa dari peraturan yang menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi. Yang mengakibatkan banyak wanita menjajakan kepuasan seksual (menjadi pelacur). Di kemudian hari melahirkan anak kurang kasih sayang. Dalam pertumbuhan anak itu, akibat kurangnya kasih sayang orang tua, jalanan adalah alasan yang dirasa cukup masuk akal, untuk tempat meluapkan segala emosi dan masalah yang mereka hadapi.
Dalam bidang pendidikan. Kita tahu bahwa pendidikan yang baik dan maju akan berdampak juga terhadap kemajuan suatu bangsa. Namun, jika ditelisik dengan role model  pendidikan saat ini di Indonesia, maka praktis hanya orang-orang kaya yang dapat mengecap pendidikan yang berkualitas. Akibatnya anak kurang mampu tidak dapat melanjutkan pendidikanya (putus sekolah). Dan dengan keterampilan yang terbatas itu, hanya perusahaan angkot dan bus umun yang dapat mempekerjakannya (maksudnya menjadi pengamen atau pedagang asongan yang naik turun angkot dan bus demi meraih sesuap nasi).Ironis sekali.
Jika dlihat dari paparan diatas, dengan serta merta mengugurkan argumen diatas. Salah mereka menganggap anak sebagai masalah pembangunan. Jika boleh menyimpulkan, pembangunan itu sendiri  yang menjadi masalah untuk anak-anak. Mereka banyak dan hampir dipastkan kehilangan semua hak-hak nya. Ini yang menjadi PR besar pemerintahan saat ini, tidak hanya dengan mengeluarkan kebijakan yang populis, seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan KIS (Kartu Indonesia Sehat).
Dan jika boleh mengadopsi masalah yang diatas. Sejatinya masalah yang ada dikampus kita tercinta ini juga sama, yakni orang-orang berdasi yang duduk di ruang ber-AC (stakeholder yang ada di UINSA baik pegawai maupun dosen) menganggap mahasiswa sebagai sumber masalah yang harus diatasi. Mereka menganggap mahasiswa hanya memperlamat kinerja dan tugas mereka, untuk mengabdi kepada Indonesia melalui jalur pendidikan dengan mencerdaskan kehidupan masyarakatnya.
Namun kenyataanya, stakeholder di kampus tercinta ini hanya merupakan masalah yang akut, atau dalam bidang kesehatan adalah kanker stadium IV yang sudah tidak bisa disembuhkan lagi, hanya menungu ajal memanggilnya. Ini beralasan dikarenakan sejatinya pendidikan adalah memberdayakan setiap orang supaya berselancar di tengah alam semesta, malah mereka mereduksi arti pendidikan itu sendiri. Mereka membuat kebijakan kampus dengan semenang-menang hanya untuk melenggangkan kekuasaanya. Seperti pembatasan ranah gerak organisasi-organisasi kampus baik Intra maupun ekstra, uang kuliah yang semakin naik tiap tahun dengan tidak dibarengi kualitas pendidikan dan fasilitas yang memadai, dll.
Padahal mereka duduk manis dikantor mereka sendiri-sendiri dan penulis juga menjumpai beberapa stakeholder berada di pusat perbelanjaan pada waktu jam kerja. Memang mereka berasumsi melakukannya semata-mata untuk diskusi maupun mengerjakan semacam penelitian. Namun hakikatnya mereka melakukan itu semua hanya untuk tuntutan profesi, bisa untuk menunjang karir atau jabatan (seperti PLPG, pelatihan dihotel berbintang,dll) , bisa juga untuk mengunakan angaran untuk laporan tutup buku tahunan (seperti penelitian yang melibatkan mahasiswa dengan iming-iming uang pengganti penelitan, bahkan konon ada biaya cetak, pajak, atau semacamnya sebesar 300ribu yang tidak jelas untuk apa sebenarnya).
Memang hal seperti ini mirip drama Korea maupun India, indah, menyebangkan bahkan megharukan. Namun pada kenyataanya itu semua hanya fiktif belaka. Mungkin mereka title atau gelar yang mereka sandang hanya fiktif belakan atau semacam beli Ijazah. Menyedihkan sekali perilaku mereka yang tidak menunjukkna keilmuan yang tinggi sebagai orang yang berada di Instansi tertinggi negeri yang tujuannya untuk pengembangan keilmuan, yakni peguruan tinggi.
Dengan argumen-argumen, tidak heran orang yang mengajar di perguruan tinggi seperti UNISA ini, tidak disebut dengan guru, dan menurut penlis memang tidak pantas disebut guru. GURU = digugu dan ditiru (dicontoh sebagai suri tauladan yang baik), melainkan dengan sebutan DOSEN = doyan sen (suka uang). Mungkin karena sebutan itu , uang yang menjadi alasan mereka para pengajar di peguruan tinggi, bukan pengabdian seperti para pengajar disekolah dasar dan menengah.
Namun dengan sebutan Doyan Sen itu, tidak menunjukkan tradisi keilmiahan yang dilabelkan di perguruan tinggi. Menurut pandangan penulis Pelacur Pendidikan yang pas dan pantas untuk menggambarkannya, karena mereka hanya memanfaatkan institusi ini demi hasrat dan nafsu akan kekayaan, jabatan dan kekuasaan mereka saja.(HK)