Rabu, 27 April 2016

“Hanya” Pelacur Pendidikan

Oleh 
M Waliyul Hakim
Twitter @waliyul 

Dikota metropolis seperti Surabaya ini, kita dengan mudah menemukan ANJAL (anak jalanan). Yang menurut sebagian orang bahkan ahli dalam berbagai disiplin ilmu, anak-anak ini di anggamenjadi masalah dalam pembangunan suatu negara. Anggapan ini begitu menggelitik di telinga penulis, bahkan sampai dapat mengiris hatinya. Bukan karena siapa yang mengeluarkan statement seperti itu. Namun lebih karena alasan yang mendasarinya, "kenapa?".
Menurut kekerdilan pengetahuan penulis, pendapat seperti itu perlu diklarifikasi atau malah dibuang jauh-jauh. Anjal tidak akan menjadi anjal kalau tidak ada yang membentuk, atau menciptakan mereka. Salah satu contohnya, bisa dari peraturan yang menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi. Yang mengakibatkan banyak wanita menjajakan kepuasan seksual (menjadi pelacur). Di kemudian hari melahirkan anak kurang kasih sayang. Dalam pertumbuhan anak itu, akibat kurangnya kasih sayang orang tua, jalanan adalah alasan yang dirasa cukup masuk akal, untuk tempat meluapkan segala emosi dan masalah yang mereka hadapi.
Dalam bidang pendidikan. Kita tahu bahwa pendidikan yang baik dan maju akan berdampak juga terhadap kemajuan suatu bangsa. Namun, jika ditelisik dengan role model  pendidikan saat ini di Indonesia, maka praktis hanya orang-orang kaya yang dapat mengecap pendidikan yang berkualitas. Akibatnya anak kurang mampu tidak dapat melanjutkan pendidikanya (putus sekolah). Dan dengan keterampilan yang terbatas itu, hanya perusahaan angkot dan bus umun yang dapat mempekerjakannya (maksudnya menjadi pengamen atau pedagang asongan yang naik turun angkot dan bus demi meraih sesuap nasi).Ironis sekali.
Jika dlihat dari paparan diatas, dengan serta merta mengugurkan argumen diatas. Salah mereka menganggap anak sebagai masalah pembangunan. Jika boleh menyimpulkan, pembangunan itu sendiri  yang menjadi masalah untuk anak-anak. Mereka banyak dan hampir dipastkan kehilangan semua hak-hak nya. Ini yang menjadi PR besar pemerintahan saat ini, tidak hanya dengan mengeluarkan kebijakan yang populis, seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan KIS (Kartu Indonesia Sehat).
Dan jika boleh mengadopsi masalah yang diatas. Sejatinya masalah yang ada dikampus kita tercinta ini juga sama, yakni orang-orang berdasi yang duduk di ruang ber-AC (stakeholder yang ada di UINSA baik pegawai maupun dosen) menganggap mahasiswa sebagai sumber masalah yang harus diatasi. Mereka menganggap mahasiswa hanya memperlamat kinerja dan tugas mereka, untuk mengabdi kepada Indonesia melalui jalur pendidikan dengan mencerdaskan kehidupan masyarakatnya.
Namun kenyataanya, stakeholder di kampus tercinta ini hanya merupakan masalah yang akut, atau dalam bidang kesehatan adalah kanker stadium IV yang sudah tidak bisa disembuhkan lagi, hanya menungu ajal memanggilnya. Ini beralasan dikarenakan sejatinya pendidikan adalah memberdayakan setiap orang supaya berselancar di tengah alam semesta, malah mereka mereduksi arti pendidikan itu sendiri. Mereka membuat kebijakan kampus dengan semenang-menang hanya untuk melenggangkan kekuasaanya. Seperti pembatasan ranah gerak organisasi-organisasi kampus baik Intra maupun ekstra, uang kuliah yang semakin naik tiap tahun dengan tidak dibarengi kualitas pendidikan dan fasilitas yang memadai, dll.
Padahal mereka duduk manis dikantor mereka sendiri-sendiri dan penulis juga menjumpai beberapa stakeholder berada di pusat perbelanjaan pada waktu jam kerja. Memang mereka berasumsi melakukannya semata-mata untuk diskusi maupun mengerjakan semacam penelitian. Namun hakikatnya mereka melakukan itu semua hanya untuk tuntutan profesi, bisa untuk menunjang karir atau jabatan (seperti PLPG, pelatihan dihotel berbintang,dll) , bisa juga untuk mengunakan angaran untuk laporan tutup buku tahunan (seperti penelitian yang melibatkan mahasiswa dengan iming-iming uang pengganti penelitan, bahkan konon ada biaya cetak, pajak, atau semacamnya sebesar 300ribu yang tidak jelas untuk apa sebenarnya).
Memang hal seperti ini mirip drama Korea maupun India, indah, menyebangkan bahkan megharukan. Namun pada kenyataanya itu semua hanya fiktif belaka. Mungkin mereka title atau gelar yang mereka sandang hanya fiktif belakan atau semacam beli Ijazah. Menyedihkan sekali perilaku mereka yang tidak menunjukkna keilmuan yang tinggi sebagai orang yang berada di Instansi tertinggi negeri yang tujuannya untuk pengembangan keilmuan, yakni peguruan tinggi.
Dengan argumen-argumen, tidak heran orang yang mengajar di perguruan tinggi seperti UNISA ini, tidak disebut dengan guru, dan menurut penlis memang tidak pantas disebut guru. GURU = digugu dan ditiru (dicontoh sebagai suri tauladan yang baik), melainkan dengan sebutan DOSEN = doyan sen (suka uang). Mungkin karena sebutan itu , uang yang menjadi alasan mereka para pengajar di peguruan tinggi, bukan pengabdian seperti para pengajar disekolah dasar dan menengah.
Namun dengan sebutan Doyan Sen itu, tidak menunjukkan tradisi keilmiahan yang dilabelkan di perguruan tinggi. Menurut pandangan penulis Pelacur Pendidikan yang pas dan pantas untuk menggambarkannya, karena mereka hanya memanfaatkan institusi ini demi hasrat dan nafsu akan kekayaan, jabatan dan kekuasaan mereka saja.(HK)


1 komentar:

  1. Sayangnya sedikit sekali pelacur yang tidak menarik :D
    Oleh karena itu, ketika memutuskan untuk menjadi pelacur maka sang pelacur harus sadar dengan "unsur menarik" yang ada dalam dirinya. Jika tidak maka ia akan tergerus dengan pamor pelacur-pelacur lain. Itu berlaku dalam bidang apapun. Pendidikan hanya salah satunya. :)

    BalasHapus