Oleh
M Waliyul Hakim
Twitter @waliyul
Dikota
metropolis seperti Surabaya ini, kita dengan mudah menemukan ANJAL (anak
jalanan). Yang menurut sebagian orang bahkan ahli dalam berbagai disiplin
ilmu, anak-anak ini di anggap menjadi masalah dalam pembangunan suatu negara.
Anggapan ini begitu menggelitik di telinga penulis, bahkan sampai
dapat mengiris hatinya. Bukan karena siapa yang mengeluarkan statement seperti
itu. Namun lebih karena alasan yang mendasarinya, "kenapa?".
Menurut
kekerdilan pengetahuan penulis, pendapat seperti itu perlu diklarifikasi atau
malah dibuang jauh-jauh. Anjal tidak akan menjadi anjal kalau tidak ada yang
membentuk, atau menciptakan mereka. Salah satu contohnya, bisa dari peraturan yang menyebabkan
terjadinya kesenjangan ekonomi. Yang mengakibatkan banyak wanita menjajakan kepuasan
seksual (menjadi pelacur). Di kemudian hari melahirkan anak kurang kasih sayang.
Dalam pertumbuhan anak itu, akibat kurangnya kasih sayang orang tua, jalanan
adalah alasan yang dirasa cukup masuk akal, untuk tempat meluapkan segala emosi
dan masalah yang mereka hadapi.
Dalam bidang
pendidikan. Kita tahu bahwa pendidikan yang baik dan maju akan berdampak juga
terhadap kemajuan suatu bangsa. Namun, jika ditelisik dengan role model pendidikan saat ini di Indonesia, maka praktis
hanya orang-orang kaya yang dapat mengecap pendidikan yang berkualitas.
Akibatnya anak kurang mampu tidak dapat melanjutkan pendidikanya (putus
sekolah). Dan dengan keterampilan yang terbatas itu, hanya perusahaan angkot
dan bus umun yang dapat mempekerjakannya (maksudnya menjadi pengamen atau
pedagang asongan yang naik turun angkot dan bus demi meraih sesuap nasi).Ironis
sekali.
Jika dlihat
dari paparan diatas, dengan serta merta mengugurkan argumen diatas. Salah
mereka menganggap anak sebagai masalah pembangunan. Jika boleh menyimpulkan, pembangunan
itu sendiri yang menjadi masalah untuk anak-anak.
Mereka banyak dan hampir dipastkan kehilangan semua hak-hak nya. Ini yang
menjadi PR besar pemerintahan saat ini, tidak hanya dengan mengeluarkan
kebijakan yang populis, seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan KIS (Kartu
Indonesia Sehat).
Dan jika boleh
mengadopsi masalah yang diatas. Sejatinya masalah yang ada dikampus kita tercinta
ini juga sama, yakni orang-orang berdasi yang duduk di ruang ber-AC (stakeholder
yang ada di UINSA baik pegawai maupun dosen) menganggap mahasiswa sebagai
sumber masalah yang harus diatasi. Mereka menganggap mahasiswa hanya
memperlamat kinerja dan tugas mereka, untuk mengabdi kepada Indonesia melalui
jalur pendidikan dengan mencerdaskan kehidupan masyarakatnya.
Namun
kenyataanya, stakeholder di kampus tercinta ini hanya merupakan masalah yang
akut, atau dalam bidang kesehatan adalah kanker stadium IV yang sudah tidak
bisa disembuhkan lagi, hanya menungu ajal memanggilnya. Ini beralasan
dikarenakan sejatinya pendidikan adalah memberdayakan setiap orang supaya
berselancar di tengah alam semesta, malah mereka mereduksi arti pendidikan itu
sendiri. Mereka membuat kebijakan kampus dengan semenang-menang hanya untuk
melenggangkan kekuasaanya. Seperti pembatasan ranah gerak organisasi-organisasi
kampus baik Intra maupun ekstra, uang kuliah yang semakin naik tiap tahun
dengan tidak dibarengi kualitas pendidikan dan fasilitas yang memadai, dll.
Padahal mereka
duduk manis dikantor mereka sendiri-sendiri dan penulis juga menjumpai beberapa
stakeholder berada di pusat perbelanjaan pada waktu jam kerja. Memang mereka berasumsi
melakukannya semata-mata untuk diskusi maupun mengerjakan semacam penelitian.
Namun hakikatnya mereka melakukan itu semua hanya untuk tuntutan profesi, bisa
untuk menunjang karir atau jabatan (seperti PLPG, pelatihan dihotel
berbintang,dll) , bisa juga untuk mengunakan angaran untuk laporan tutup buku
tahunan (seperti penelitian yang melibatkan mahasiswa dengan iming-iming uang
pengganti penelitan, bahkan konon ada biaya cetak, pajak, atau semacamnya
sebesar 300ribu yang tidak jelas untuk apa sebenarnya).
Memang hal
seperti ini mirip drama Korea maupun India, indah, menyebangkan bahkan
megharukan. Namun pada kenyataanya itu semua hanya fiktif belaka. Mungkin
mereka title atau gelar yang mereka sandang hanya fiktif belakan atau semacam
beli Ijazah. Menyedihkan sekali perilaku mereka yang tidak menunjukkna keilmuan
yang tinggi sebagai orang yang berada di Instansi tertinggi negeri yang
tujuannya untuk pengembangan keilmuan, yakni peguruan tinggi.
Dengan
argumen-argumen, tidak heran orang yang mengajar di perguruan tinggi seperti
UNISA ini, tidak disebut dengan guru, dan menurut penlis memang tidak pantas
disebut guru. GURU = digugu dan ditiru (dicontoh sebagai suri tauladan yang
baik), melainkan dengan sebutan DOSEN = doyan sen (suka uang). Mungkin karena
sebutan itu , uang yang menjadi alasan mereka para pengajar di peguruan tinggi,
bukan pengabdian seperti para pengajar disekolah dasar dan menengah.
Namun dengan
sebutan Doyan Sen itu, tidak menunjukkan tradisi keilmiahan yang
dilabelkan di perguruan tinggi. Menurut pandangan penulis Pelacur Pendidikan
yang pas dan pantas untuk menggambarkannya, karena mereka hanya
memanfaatkan institusi ini demi hasrat dan nafsu akan kekayaan, jabatan dan
kekuasaan mereka saja.(HK)
Sayangnya sedikit sekali pelacur yang tidak menarik :D
BalasHapusOleh karena itu, ketika memutuskan untuk menjadi pelacur maka sang pelacur harus sadar dengan "unsur menarik" yang ada dalam dirinya. Jika tidak maka ia akan tergerus dengan pamor pelacur-pelacur lain. Itu berlaku dalam bidang apapun. Pendidikan hanya salah satunya. :)