Senin, 09 Mei 2016

ILUSI REFORMASI; Sketsa Historis dan Realitas Politis

Zaini Thamim
Gubernur Fakultas Tarbiyah 2011, Sekretaris Cabang PMII Surabaya Selatan 2012
@ZaiNino9
          
Masih di bulan Mei. Bulan penuh kesan, mimpi dan tragedi. Sebuah saat dengan momen menakjubkan dengan refleksi-refleksi. Mei 1998, sebuah negeri terguncang, tegang, dan suasana menakutkan. Ribuan orang berdemonstrasi, menyusuri jalan, membakar ratusan kendaraan, membumihanguskan bangunan, dan merusak apa saja yang memakai simbol kekuasaan. Sudah sekian masa - pada masa ketika pers belum dijerat ketat oleh penguasa - para aktivis dan intelektual menyuarakan kecaman mereka kepada penguasa. Dan hari itu aksi massa tak terbendung.
Perubahan; mungkin itu yang dibayangkan. Namun, nampaknya, hari itu yang terjadi sebuah lakon tanpa ide. Ide tanpa pemikiran matang. Sehingga emosi yang terpakai. Lenin, cenderung melihat people power sebagai langkah untuk perubahan radikal yang bukan hanya disertai gerakan ideologi, tapi juga berkait dengan sebuah gagasan yang tak cuma datang dari akal, melainkan dari benturan dengan keadaan.
Lenin, bertolak dari telaah tentang keadaan sosial dan ekonomi. Dari telaah itu disusun ”program umum” dan ”program khusus”. Dalam strategi dan taktik itu perebutan kekuasaan politik jadi soal penting. Jelas juga pihak yang akan memimpin, jelas pula sistem politik dan ekonomi yang akan diterapkan.
Revolusi Prancis, memang tak tampak berangkat dari ”rencana”, tapi, seperti dikatakan Lenin, itu juga sebuah revolusi besar: dengan itu dasar baru masyarakat diletakkan dan tak bisa diubah lagi. Perebutan kekuasaan, Sang Raja dipenggal, bahkan jadi pertanda zaman baru: tak ada lagi yang kekal di tahta itu. Revolusi Prancis juga tak hanya meletus dari konflik sosial, dan sebab itu melibatkan orang ramai. Ia sambungan cita-cita yang lahir dari konflik sosial itu - yang dirumuskan oleh para pemikir dan disaripatikan dalam semboyan liberte, egalite, fraternite.

- 1998; Sisa Transisi Kuasa -
Dengan sedikit persuaian, kita bisa mengatakan, yang terjadi di tahun 1998 adalah sebuah transformasi. Karena sejak itu, ketika kekuasaan berpindah tangan dari “raja” orde baru, Indonesia tak bisa ditarik kembali ke kerangkeng ideologi berbaju pembangunanisme. Bertahun-tahun sebelumnya, gagasan tentang sebuah bangsa dicanangkan, dan sejak 1990-an bangsa ini bersedia mati untuk kebebasan.
1998. Kita tak tahu persis bagaimana keadaan waktu itu. Kita tak ada di masa itu. Dari sebuah bangku di sekolah, barangkali kita hanya mendapat kabar parsial tentang aksi mahasiswa yang tiada henti. Dan di dunia kampus, kita kemudian paham bahwa ada kerja sama mahasiswa dengan rakyat, mengusung satu misi pembebasan. Ya, ada hal-hal yang mengerikan dan mencekam. Pelan-pelan tampak bahwa militer ingin mengambil alih gerak perubahan politik dengan rezim yang dianggap “baru” itu.
Namun, membaca sejarah itu, kita bisa tahu, ada hasrat demokratisasi yang kuat di tahun 1998, ketika para aktivis menggulingkan sistem demokrasi (meminjam bahasa Gus Dur) “Raja Jawa”. Suara untuk mengukuh¬kan hak-hak asasi manusia terdengar nyaring, usaha me¬negakkan kemerdekaan pers dan rule of law sangat bising.
Apa yang dicita-citakan itu kemudian memang dikhianati. Namun yang terjadi bukan hanya kemarahan. Juga bukan hanya rencana perubahan kekuasaan. Yang terjadi adalah gerakan untuk gagasan yang datang dari mulut yang terbungkam dan perut yang tak tenang. Setelah 1998, demokrasi memang dihembuskan, kebebasan pers didengungkan, tapi ada yang sejak itu tak dapat diganti: sistem ”kekerabatan”, transaksi kekuasaan, dan tradisi keraton cendana yang masih terpatri. Lebih dari itu, kebebasan yang inginkan membuat kita terbuai, berada di zona “nyaman”, hingga terjebak dalam sebuah zaman yang tanpa kendali. Kemudian, era digital datang, ia membelai, tapi menggerus bahkan memasung gerak hanya dalam sebuah “pesan”.

- Paradoks Reformasi -
Reformasi? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Kata itu barangkali tak disebut. Tapi ia punya pesona tersendiri: dalam historiografi populer Indonesia, ”reformasi” dikaitkan dengan sepatah kata yang ganjil: ”angkatan”. Kata ini tak jelas asal-usulnya dan sebetulnya membingungkan maknanya. Namun ia dipakai terus. Ia berarti ”ge-nerasi”, tapi ia mengandung juga kesan ”perjuangan” dan ”kekuatan” yang amat gagah. Maka ”Angkatan ’98” terunggah.
Setelah 1998, tak ada lagi yang ditahbiskan dengan sebutan ”reformasi”. Peristiwa itu seolah tak punya dampak sosial yang berlanjut. Bahkan bisa disebut, amuk hari itu hanya bagian sebuah operasi gerakan massa, selapis tabir untuk menutupi konflik antara para jenderal pendukung orde baru, lengkap dengan dusta dan propagandanya - sebuah fragmen sejarah yang kelak wajib lebih jelas diungkapkan.
Tapi bahwa itu terjadi, di sebuah masa, menunjukkan betapa mudahnya reformasi meledak. Meskipun harus dicatat: reformasi seperti binatang liar: sekali dilahirkan, ia tak bisa dikendalikan. Amarah yang meledakkannya dan gairah yang menyertainya tak bisa cuma aksi. Tiap usaha selalu politis, akan tampak riuh, lalu absurd. Seperti “sabda” Marx: ”peristiwa besar dalam sejarah bisa diulangi; kali pertama berupa tragedi, kali kedua berupa utopi.”
Itu sebabnya reformasi bisa dilakukan, tapi ia tak bisa dipesan, dan pada akhirnya sulit dikendalikan. Seperti sejarah, reformasi punya saatnya sendiri untuk lahir. Kata Gus Dur, ia adalah buah panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam. Sehingga baranya tersebar dan membakar Negeri ini hingga gersang. Ada pembungkaman yang terjadi, ketika reformasi dilembagakan dalam program partai, hukum, atau ideologi. Oleh karenanya, generasi muda harus menentukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan dan harga diri NKRI. Jika tidak, maka reformasi hanyalah ilusi.
Salam pramuka! (ZT)


Selasa, 03 Mei 2016

Merebut Kembali Kendali Tubuh Perempuan

Kita selalu kembali menemukan jati diri sebagai pusat dari kepuasan seksual laki-laki, bentuk dan fungsi kontrol sosial terhadap perempuan (La Coveney et al, 1984:9)

           Dalam istilah jawa, ‘Perempuan’  di sebut ‘Wanito’, dianggap sebagai sebuah akronim dari ‘wani ditoto’. Istilah ini berarti ‘berani diatur’ atau ‘harus mau diatur’. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa perempuan sudah kodratnya untuk diatur dan mau diatur. Selain itu perempuan juga seringkali diibaratkan sebagai tulang rusuk. Sebuah tulang yang jika tidak diluruskan, maka selamanya akan bengkok. Karena ibarat penciptaan dari tulang rusuk inilah, perempuan dianggap ‘belum lurus’. Sehingga seringkali perempuan dianggap sebagai ‘warga kelasa dua’ yang harus patuh terhadap peraturan-peraturan yang diciptakan untuk mengatur (memaksa) cara hidupnya. Oleh karena itu, keadaan ini kemudian seringkali membuat perempuan tidak memiliki pilihan untuk mengekspresikan kehendaknya sendiri. Banyak sekali nilai-nilai maupun peraturan-peraturan yang memaksa perempuan untuk patuh. Sampai pada tahap, kepatuhan adalah sebuah keharusan dan kewajaran sehingga para perempuan tidak merasa sedang ‘dipaksa’ untuk tunduk. Padahal sejatinya nilai, norma, adat, korporasi, agama maupun negara telah berkonspirasi atau bahkan berebut untuk mengendalikan tubuh perempuan.
Norma kesopanan perempuan berada dalam lingkup ruang tatap laki-laki, dimana seorang perempuan dianggap ‘sopan’ hanya jika ia dirasa ‘tidak mengundang’ hasrat lawan jenisnya. Para pengguna busana mini ditempat umum seringkali dicaci karena dianggap ‘tidak sopan’ dimata lelaki. Perempuan dituntut untuk sopan (tertutup) ketika diluar rumah. Sedangkan ketika didalam rumah, perempuan diberikan kebebasan lebih, hanya karena ruang tatap laki-laki selain keluarga sangat minim di lingkungan itu. Dengan kata lain, tubuh perempuan dianggap aman jika hanya keluarga yang melihat. Hanya satu orang yang notabene orang lain yang diperbolehkan ‘melihat’ yaitu suami. Karena selama ini suami telah dianggap mempunyai hak penuh terhadap istrinya.
Entah disadari atau tidak, selama ini belum ada kesepakatan secara universal mengenai batasan kesopanan busana perempuan. Kriteria sopan berbeda di setiap lingkup tergantung dari kesepakatan laki-laki yang berada di wilayah itu. Ada yang menganggap sopan itu bercadar, sopan itu berkerudung, sopan itu berbaju longgar, ada juga yang menganggap rok diatas lutut juga sudah sopan. Bagaimanapun sekali lagi, kesopanan perempuan selalu saja dikalkulasi dari mata lelaki mana yang menilai dan mengawasi. Perempuan selalu saja dipaksa untuk ‘menutupi’ padahal ‘penutupan’ tubuh perempuan tidak menjamin perempuan menjadi aman di ruang privat maupun publik.
Selain segi pilihan penampilan, perempuan juga dikekang dalam segi seksualnya. Selama ini perempuan dalam konteks suami istri sering ditempatkan dalam posisi ‘melayani’ yang seringkali diartikan hanya ‘menyambut, pasrah dan manut’. Perempuan dianggap pasif, dan tak pantas memiliki kehendak sehingga sudah sepatutnya ia patuh terhadap lelakinya. Sehingga kemudian didalam pernikahan banyak perempuan yang terpaksa pura-pura orgasme karena demi menyenangkan ‘ego’ pasangannya. Banyak perempuan muslim yang percaya bahwa jika ia menolak melayani ajakan seksual suaminya ketika malam hari, maka ia akan dilaknat oleh malaikat hingga pagi. Hampir semua muslimah mempercayai itu, tanpa pernah bertanya apakah itu juga berlaku terhadap laki-laki. Apakah jika suaminya menolak ajakan bercinta si istri maka suaminya juga akan dilaknat malaikat hingga matahari muncul dari tempatnya sembunyi?.
Menurut Gadis Arivia dalam jurnal perempuan edisi 71, ada empat hal yang perlu dilakukan untuk memberdayakan kembali tubuh perempuan. Pertama, perempuan harus berani terbuka untuk berbicara soal seksualitas dan mewancanakan seksual perempuan dengan gamblang, bahwa perempuan memiliki daya seksual dan tidak menjadi sesuatu yang tabu untuk membicarakannya. Kedua, perempuan harus berani berkata “tidak” bila tidak sesuai dengan kehendak pribadinya dalam hal yang berkaitan dengan penampilan dan eksistensi dirinya. Ketiga, perempuan harus berani berkata “ya” terhadap keinginan seksualnya. Ketika perempuan telah siap untuk memutuskan berhubungan seksual, maka, keinginan tersebut harus dihormati. Keempat, perempuan harus berani belajar untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri karena keinginan seksualnya ataupun karena pilihan pakaiannya.
Memang akan selalu ada pro kontra terhadap pembahasan tentang perempuan dan seksualitas. Banyak golongan yang menganggap hal ini masih terlalu tabu untuk dibicarakan dan didiskusikan. Namun harapan dilaksanakannya diskusi feminisme dan gender Oleh KOPRI PMII Cabang Surabaya Selatan kali ini (Rabu 27 April 2016) adalah agar terbukanya prespektif baru dalam dunia perempuan di surabaya selatan. Sehingga perempuan kita, mampu dan mau mendengarkan pendapatnya sendiri dan berani bersuara. Sehingga dapat terjalin komunikasi yang baik antara gender. Sehingga kemungkinan salah tafsir dalam komunikasi bisa diminimalisir.  

Bagaimanapun akan selalu ada pihak yang tidak cocok terhadap pilihan-pilihan yang dilakukan perempuan. Oleh karena itu yang terpenting adalah ia memilih sebuah pilihan karena merasa nyaman dan bukan karena intimidasi orang lain. Karena perempuan adalah makhluk yang merdeka, dimana seharusnya ia juga memiliki hak terhadap dirinya sendiri, terutama terhadap tubuhnya. (UA)