Zaini Thamim
Gubernur Fakultas Tarbiyah 2011, Sekretaris Cabang PMII
Surabaya Selatan 2012
@ZaiNino9
Masih di bulan
Mei. Bulan penuh kesan, mimpi dan tragedi. Sebuah saat dengan momen menakjubkan
dengan refleksi-refleksi. Mei 1998, sebuah negeri terguncang, tegang, dan
suasana menakutkan. Ribuan orang berdemonstrasi, menyusuri jalan, membakar
ratusan kendaraan, membumihanguskan bangunan, dan merusak apa saja yang memakai
simbol kekuasaan. Sudah sekian masa - pada masa ketika pers belum dijerat ketat
oleh penguasa - para aktivis dan intelektual menyuarakan kecaman mereka kepada
penguasa. Dan hari itu aksi massa tak terbendung.
Perubahan;
mungkin itu yang dibayangkan. Namun, nampaknya, hari itu yang terjadi sebuah
lakon tanpa ide. Ide tanpa pemikiran matang. Sehingga emosi yang terpakai.
Lenin, cenderung melihat people power sebagai langkah untuk perubahan radikal
yang bukan hanya disertai gerakan ideologi, tapi juga berkait dengan sebuah
gagasan yang tak cuma datang dari akal, melainkan dari benturan dengan keadaan.
Lenin,
bertolak dari telaah tentang keadaan sosial dan ekonomi. Dari telaah itu
disusun ”program umum” dan ”program khusus”. Dalam strategi dan taktik itu
perebutan kekuasaan politik jadi soal penting. Jelas juga pihak yang akan
memimpin, jelas pula sistem politik dan ekonomi yang akan diterapkan.
Revolusi
Prancis, memang tak tampak berangkat dari ”rencana”, tapi, seperti dikatakan
Lenin, itu juga sebuah revolusi besar: dengan itu dasar baru masyarakat
diletakkan dan tak bisa diubah lagi. Perebutan kekuasaan, Sang Raja dipenggal,
bahkan jadi pertanda zaman baru: tak ada lagi yang kekal di tahta itu. Revolusi
Prancis juga tak hanya meletus dari konflik sosial, dan sebab itu melibatkan
orang ramai. Ia sambungan cita-cita yang lahir dari konflik sosial itu - yang
dirumuskan oleh para pemikir dan disaripatikan dalam semboyan liberte, egalite,
fraternite.
- 1998; Sisa Transisi Kuasa -
Dengan sedikit
persuaian, kita bisa mengatakan, yang terjadi di tahun 1998 adalah sebuah
transformasi. Karena sejak itu, ketika kekuasaan berpindah tangan dari “raja”
orde baru, Indonesia tak bisa ditarik kembali ke kerangkeng ideologi berbaju
pembangunanisme. Bertahun-tahun sebelumnya, gagasan tentang sebuah bangsa dicanangkan,
dan sejak 1990-an bangsa ini bersedia mati untuk kebebasan.
1998. Kita tak
tahu persis bagaimana keadaan waktu itu. Kita tak ada di masa itu. Dari sebuah
bangku di sekolah, barangkali kita hanya mendapat kabar parsial tentang aksi
mahasiswa yang tiada henti. Dan di dunia kampus, kita kemudian paham bahwa ada
kerja sama mahasiswa dengan rakyat, mengusung satu misi pembebasan. Ya, ada
hal-hal yang mengerikan dan mencekam. Pelan-pelan tampak bahwa militer ingin
mengambil alih gerak perubahan politik dengan rezim yang dianggap “baru” itu.
Namun, membaca
sejarah itu, kita bisa tahu, ada hasrat demokratisasi yang kuat di tahun 1998,
ketika para aktivis menggulingkan sistem demokrasi (meminjam bahasa Gus Dur)
“Raja Jawa”. Suara untuk mengukuh¬kan hak-hak asasi manusia terdengar nyaring,
usaha me¬negakkan kemerdekaan pers dan rule of law sangat bising.
Apa yang
dicita-citakan itu kemudian memang dikhianati. Namun yang terjadi bukan hanya
kemarahan. Juga bukan hanya rencana perubahan kekuasaan. Yang terjadi adalah
gerakan untuk gagasan yang datang dari mulut yang terbungkam dan perut yang tak
tenang. Setelah 1998, demokrasi memang dihembuskan, kebebasan pers
didengungkan, tapi ada yang sejak itu tak dapat diganti: sistem ”kekerabatan”,
transaksi kekuasaan, dan tradisi keraton cendana yang masih terpatri. Lebih
dari itu, kebebasan yang inginkan membuat kita terbuai, berada di zona
“nyaman”, hingga terjebak dalam sebuah zaman yang tanpa kendali. Kemudian, era
digital datang, ia membelai, tapi menggerus bahkan memasung gerak hanya dalam
sebuah “pesan”.
- Paradoks Reformasi -
Reformasi?
Mungkin iya, mungkin juga tidak. Kata itu barangkali tak disebut. Tapi ia punya
pesona tersendiri: dalam historiografi populer Indonesia, ”reformasi” dikaitkan
dengan sepatah kata yang ganjil: ”angkatan”. Kata ini tak jelas asal-usulnya
dan sebetulnya membingungkan maknanya. Namun ia dipakai terus. Ia berarti
”ge-nerasi”, tapi ia mengandung juga kesan ”perjuangan” dan ”kekuatan” yang
amat gagah. Maka ”Angkatan ’98” terunggah.
Setelah 1998,
tak ada lagi yang ditahbiskan dengan sebutan ”reformasi”. Peristiwa itu seolah
tak punya dampak sosial yang berlanjut. Bahkan bisa disebut, amuk hari itu
hanya bagian sebuah operasi gerakan massa, selapis tabir untuk menutupi konflik
antara para jenderal pendukung orde baru, lengkap dengan dusta dan
propagandanya - sebuah fragmen sejarah yang kelak wajib lebih jelas
diungkapkan.
Tapi bahwa itu
terjadi, di sebuah masa, menunjukkan betapa mudahnya reformasi meledak.
Meskipun harus dicatat: reformasi seperti binatang liar: sekali dilahirkan, ia
tak bisa dikendalikan. Amarah yang meledakkannya dan gairah yang menyertainya
tak bisa cuma aksi. Tiap usaha selalu politis, akan tampak riuh, lalu absurd.
Seperti “sabda” Marx: ”peristiwa besar dalam sejarah bisa diulangi; kali
pertama berupa tragedi, kali kedua berupa utopi.”
Itu sebabnya
reformasi bisa dilakukan, tapi ia tak bisa dipesan, dan pada akhirnya sulit
dikendalikan. Seperti sejarah, reformasi punya saatnya sendiri untuk lahir.
Kata Gus Dur, ia adalah buah panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme
yang mendalam. Sehingga baranya tersebar dan membakar Negeri ini hingga
gersang. Ada pembungkaman yang terjadi, ketika reformasi dilembagakan dalam
program partai, hukum, atau ideologi. Oleh karenanya, generasi muda harus
menentukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan dan harga diri NKRI. Jika tidak,
maka reformasi hanyalah ilusi.
Salam pramuka! (ZT)