Kamis, 09 Juni 2016

Berkah Setumpuk Jenggot

Bahauddi Amyasi
Penggiat Tulis Menulis dan Menteri Pendidikan BEM F. Tarbiyah 2010
@Bahauddin_ID

Engkau pasti sulit menemukan seseorang semacam dia. Da'i paling nyentrik se-Indonesia. Ia pernah jadi khotib sidang Jum'at tanpa duduk di antara kedua sesi khotbahnya. Jika engkau suka mengelompokkan karakter seseorang lewat fisiognomi, kesulitan itu akan tambah membuatmu kebingungan: wajahnya bulat penuh dan "berwibawa", tubuhnya tegap seperti Mahapatih Gajah Mada. Tapi jika keluwesan emosinya melanda, ia bisa sentimentil melebihi gadis perawan saja. Hatinya benar-benar peka. Dan sekarang, berkah keluwesannya, ia benar-benar menjadi Mahapatih bagi komunitasnya. 
Dia sangat super serius dengan profesinya, tapi lebih sangat amat super-duper serius lagi tentang puisi-puisinya. Tiap malam ia menyelipkan sajak-sajak doa untuk istrinya. Kata dia, itu isyarat kekekalan cinta. Maka, setelah lama menduda, ia sangat selektif memilih perempuan untuk jadi pendamping sisa-sisa hidupnya.
Dari saking selektifnya, ia bahkan menyeleksi status-status dan tag-tag dari siapa saja yang boleh "nongkrong" di beranda fesbuknya. Menyortir kiriman-kiriman foto yang berjubelan dari penggemar-penggemarnya, entah penggemar beneran, pengggemar guyonan, mungkin juga penggemar suaranya, atau hanya penggemar jenggotnya yang penuh karisma.  
Soal jenggot, engkau pasti menganggap statemennya sebagai lelucon. "Santai saja, ini bukan jenggot ideologi, tapi hanya sekedar aksesori," serunya sambil mengelus jenggotnya yang tak ada duanya di dunia. Dan, ia tak sedang mengarang cerita saat berkilah bahwa berkat jengggotlah alur hidupnya bisa berubah. Ia diterima menjadi penyiar di sebuah stasiun radio swasta milik para pengusung khilafah untuk menggusur Indonesia raya. "Jenggot ideologi" menjadi salah satu platform dan mode gerakan mereka.
Tak tanggung-tanggung. Ia dipercaya untuk mengasuh acara "Jelajah Al-Quran", padahal dulu kitab itu jarang disentuhnya, jarang dikajinya. Tapi rute hidup manusia tak bisa diterka. Apa yang ditekuninya dulu, ketika mengejar almarhumah istrinya, dengan cara mengiriminya bebait puisi, merekam suara cemprengnya dengan laptop bututnya, sekarang malah megantarkannya menjadi penyiar ternama. Gus Aab pangggilan udaranya. Engkau harus percaya itu bukan kebetulan belaka. Itu hasil jihad fi sabilillah namanya.  
Dibalik kekar tubuhnya yang kau kira seperti instruktur fitness, ia tetaplah lelaki romantis, mungkin sedikit melankoli, tapi sanggup mencintai istrinya sepenuh hati, sampai mati. Itu kenapa ia bisa akrab dengan bebaris puisi. Bahkan mampu mengucurkan air mata saat membaca kisah-kisah penuh haru yang mirip perjalanan hidupnya. 
Saya yakin istrinya sedang damai di sorga. Engkau pasti percaya. Dan tulisan ini tidak berpretensi apa-apa, hanya sekedar karangan bunga atas ketabahan hatinya. Lelaki yang saya ceritakan ini, engkau tahu, adalah sahabat sejati saya, yang dulu pernah tak menyapa saya berbulan-bulan lamanya, hanya lantaran kedunguan buta, kesempitan rongga dada, dan fanatisme tanpa makna, dalam memperjuangkan komunitas eks yang kebingungan menentukan plot rangkaian perjalanan ceritanya.  
Pada akhirnya, engkau harus yakin bahwa coretan saya ini adalah lembar pertama untuk membuka kembali cerita-cerita heroiknya saat mengejar cintanya, lalu menikahi perempuan yang dicintainya, lalu sederet riwayat keluarganya, lalu suka-dukanya, lalu tawa-tangisnya, dan lalu-lalu yang lainnya. Ia berjanji kepada saya untuk megabadikannya dalam catatan kenangan penuh cinta. 
Engkau, pembaca tulisan ini, adalah saksi nyata, betapa ocehan tak berharga ini adalah ikrar saya dalam membidani kelahiran ceritanya. Kita tunggu saja. BA


(PE)SANTRI(AN)

Zaini Thamim
Gubernur Fakultas Tarbiyah 2011, Sekretaris Cabang PMII Surabaya Selatan 2012
@ZaiNino9


Kini sudah 9 Juni. Angka 9 bagi penulis selalu istimewa; sebingkai kisah dengan “perhiasan” sejarah. Namun bukan kisah yang akan diurai dalam coretan sederhana ini. Ini tentang Ramadhan; bulan refleksi bagi manusia dan semesta. Di bulan ini pula realitas keberagamaan – dengan ritual dan tradisinya – menjadi ciri yang melekat dengan batas. Sekolah/kampus misalnya. Sekolah seakan berlomba-lomba menyelenggarakan sebuah agenda tahunan dengan tema “pondok ramadhan” atau “pesantren ramadhan”. Dengan agenda itu diharap anak didik akan menjadi santri dalam satu waktu. Di sisi lain, doktrin agama seakan diset-up agar anak didik memperoleh pengetahuan dan merubah sikap. Padahal, pondok/pesantren ramadhan bukan pesantren. Ia hanya serangkaian acara yang dikemas dengan nuansa agama lengkap dengan dogma-dogma.
Sementara pesantren tidak sama dengannya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan dengan ciri khas tersendiri. Pesantren menjadi bagian masyarakat Indonesia dari dulu hingga saat ini. Sebelum Islam hadir di Indonesia, lembaga serupa pesantren ini sudah ada, dan Islam hadir mengintegrasikannya. Jadi, pesantren merupakan hasil akulturasi kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan kebudayaan Islam, kemudian menjelma menjadi suatu lembaga yang kita kenal sebagai pondok pesantren sekarang ini.
Sistem pendidikan pesantren mengadopsi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Abdurrahman Wahid, menyebutnya dengan istilah subkultur. Ada tiga elemen yang mampu membentuk pesantren sebagai subkultur : 1) pola kepemimpinan pesantern yang mandiri, tidak terkooptasi oleh negara. 2) kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad. 3) sistem nilai yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Tiga elemen ini menjadi ciri yang menonjol dalam perkembangan pendidikan di pesantren. Subkultur tersebut dibangun komunitas pesantren senantiasa berada dalam sistem sosial budaya yang lebih besar.
Dengan demikian, sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dalam banyak hal merupakan hasil adaptasi dari pola-pola pendidikan yang telah ada dikalangan masyarakat Hindu-Budha sebelumnya. Jika ini benar, maka ada relevansinya dengan asumsi bahwa pesantren mendapat pengaruh dari tradisi lokal. Model pendidikan agama jawa yang diadaptasi itu disebut pariwayatan, berbentuk asrama dengan rumah pengajar. Sistem pendidikan ini diambil dengan mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran Islam. Pengambilan model meniru dan mengganti ini juga terjadi dalam sistem pewayangan.
Proses adaptasi sistem pendidikan itulah yang menguatkan penilaian selama ini bahwa pendidikan pesantren disebut sistem pendidikan produk Indonesia. Nurcholish Madjid, menyebut dengan istilah indegenous. Sistem pendidikan asli Indonesia ini pernah menganut dan memiliki daya tawar yang tinggi sebagai antitesis terhadap sistem pendidikan Belanda. Karel A. Streenbrink mengungkapkan bahwa pada 1930-an, sistem pondok pesantren yang sering disebut sistem pendidikan asli Indonesia dapat menyaingi pendidikan Barat yang materialistis.
Sistem pendidikan ini membawa nilai, antara lain : pertama, pengasuh mampu melakukan pemantauan secara leluasa hampir setiap saat terdapat perilaku santri baik yang terkait dengan upaya pengembangan intelektualnya maupun kepribadiannya. Kedua, adanya proses pembelajaran dengan frekuensi yang tinggi dapat memperkokoh pengetahuan yang diterimanya. Ketiga, adanya proses pembiasaan akibat interaksinya setiap saat baik sesama santri, santri denga ustadz maupun santri dengan kiai. Keempat, adanya integrasi antara proses pembelajaran dengan kehidupan keseharian.
Pendidikan pesantren menunjukkan sifat dan bentuk yang lain dari pola pendidikan pada umumnya. Maka pesantren menghadapi dilema untuk mengintregasikan sistem pendidikan yang dimiliki dengan sistem pendidikan nasional. Ditinjau dari awal mula berdirinya, pesantren memang tidak dimaksudkan untuk meleburkan dalam sistem pendidikan nasional. Bahkan ketika zaman kolonial Belanda, pesantren memiliki strategi isolasi dan konservasi. Konsekuensinya, berbagai citra negatif diarahkan pada pesantren. Pesantren seringkali dinilai sebagai sistem pendidikan yang isolasionis - terpisah dari aliran utama pendidikan nasional, dan konservatif yakni kurang peka terhadap tuntutan perubahan zaman dan masyarakat. Fungsi konservatif terlihat pada upayanya menjaga ajaran Islam.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki unsur utama yang berbasiskan pada subyek manusia, yakni kiai dan santri. Hubungan relasional antara keduanya melahirkan suatu bentuk komunikasi edukatif dalam proses pembelajaran di pesantren. Kiai adalah seorang pengajar pendidik, pengelola, guru (ustadz) dan sekaligus pemangku pesantren. Di sisi lain, ia adalah central figure yang menjadi pusat kebijakan dan kebijaksanaan. Dan santri sebagai siswa yang belajar kepada sang kiai untuk mendapatkan ilmu dan barokah. Maka jelas, pesantren memiliki karakteristiknya tersendiri dibanding dengan lembaga atau proses pendidikan lain. Secara tradisional, sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren mensinergikan pengembangan intelektual dan aspek kepribadian. Sehingga sikap, intelektualitas, dan karakter “digembleng” dan dibentuk di sini. ZT

Rabu, 01 Juni 2016

Larasati

Oleh: Ulum Arifah
Twitter: @ulumarifah
Nyatanya semua ini hanya Ilusi.
Sketsa buram dari pikiranku sendiri.
Kita terbelenggu asa yang menggebu.
Tapi pincang tanpa nyali.
1.
Sejak tadi perempuan berparas ayu itu tak dapat menyembunyikan kegelisahannya dengan meremas-remas ujung jilbab. Ia sudah duduk manis di atas motor, namun hatinya masih saja resah. Bagaimana jika keputusannya kali ini salah?.

“Neng, Bisakah kita bertemu?”. Pesan pendek Ahmad membuyarkan munajad kepadaNya di sepertiga malam terakhir pagi ini. Perempuan dengan mukena putih kebiruan itu menimbang-nimbang, balasan apa yang seharusnya ia berikan kepada lelaki ini. Akhirnya jarinya yang lentik membalas, “di pantai palu kuning, sebelum waktu dhuha.”

Satu jam berlalu, motor yang ia tunggangi akhirnya berhasil mengantarkannya ke tempat yang ia tuju, pantai yang tersembunyi. Ia menemukan lelaki yang begitu ingin ia miliki duduk selonjoran menghadap pantai.

Perempuan itu duduk di samping lelaki yang masih mengisi separuh relung hatinya itu, diam, hingga beberapa waktu.

“Neng, maaf,” ujarnya lirih. Debur pantai semakin mengaburkan suaranya.

“Untuk?”

“Aku akan menikah”

Perempuan itu mengatur nafasnya. Sejak lama ia paham jika ini pasti akan terjadi. “Jadi, perempuan mana yang beruntung itu, Kang?” Ucapnya tenang sambil memandang lurus ke matahari yang muncul malu-malu. 

“Kamu tau aku lebih beruntung jika memilikimu, neng.”


“Sampean tahu aku tak mungkin dimiliki.”

“Itu asumsimu saja.”

“Kita sudah pernah membicarakan ini.”

Kini giliran lelaki itu yang mengatur nafas. Ia lelah, amat sangat lelah. Perempuan di sampingnya ini begitu membuatnya kelelahan. Larasati adalah sosok perempuan yang luar biasa keras kepala namun bertutur lembut, anggun dan memikat. Persetan dengan kekurangannya. Ia telah dibuat jatuh hati dan menyerah di saat yang sama.

“Kapan?”

“Enam bulan lagi.”

“Lalu?”

“Jika kamu berubah pikiran, aku masih bisa mengubah nama pengantinnya dengan namamu.”

“Itu akan menyakiti perempuanmu.”

“Tapi ini menyakitiku.”

“Kang,” ujarnya lirih sambil menoleh. “Anggaplah ini permintaanku yang terakhir, bolehkah aku menciummu.”

Lelaki itu tak menyahut. Kemudian berbalik memandang perempuan di sampingnya. Mencoba menyelami kedalaman matanya. Mereka saling menatap, diam dan terpaku.

Kemudian tangan lelaki itu menggenggam jari tanggan larasati dengan lembut. Jarak semakin terkikis di antara keduanya. Hingga pelukan hangat terasa di tubuh larasati. Sekejap perempuan itu seperti kehilangan kewarasan, terlalu takjub dengan getaran yang pertama kali ia rasakan.

“Kamu serius?”

Perempuan itu hanya mengangguk dalam dekapannya.

Lelaki itu bergerak mengikuti naluri. Mendekap kepala perempuan itu dengan kedua tanggannya. Mengarahkannya pelan untuk di kecupnya. Ia benar-benar mengecupnya, mengecup bibirnya, pelan, pelan sekali.

Pantai yang sepi, angin bertiup malu-malu dan sinar  matahari yang hangat, manuntunnya untuk mencium Larasati sekali lagi. Kali ini kecupan itu berubah menjadi pagutan yang membuat keduanya kehabisan nafas.

“Neng, apakah ini berarti keputusanmu berubah?”

“Tentu saja tidak.”

Debur pantai terdengar nyaring. Menelan keheningan diantara kedua manusia itu. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Bagaimana mungkin kamu tega menolakku tetapi menjadikan dirimu perempuan pertama yang menikmati sentuhanku dan mengijinkanku menikmati bibirmu?” Ujar lelaki itu putus asa.

“Anggap saja ini kenang-kenangan,” jawabnya lirih.

Perempuan itu memelukanya erat dan menikmati bibir lelaki itu sekali lagi.

“Neng, aku mencintaimu,” ujar lelaki itu lirih di telinga wanita dalam pelukannya.

Larasati memandang lurus ke manik mata lelaki itu. “Aku tahu”. Kemudian ia menguraikan pelukannya dan pergi.

2.
Menjadi cucu tunggal dengan harapan mampu meneruskan keturunan, umur lebih dari seperempat abad dan pertanyaan-pertanyaan mengapa semua lamaran selalu ditolaknya mentah-mentah, bukanlah kombinasi yang menyenangkan. Nyai dan Abah sepertinya sudah mulai bosan dan kelelahan mempertanyakan semua itu.

Ia ingat dengan benar, suatu sore Nyai mengelus pipinya dengan tangannya yang keriput karena dimakan usia. Menanyakan apakah ia punya kekasih. Lelaki seperti apa yang sebenarnya ia inginkankan. Larasati tahu bahwa kedua orang yang sudah sepuh itu tak mungkin memaksanya. Ya, kakek dan nenek tak mungkin memaksanya. Mereka mungkin takut ia pergi seperti yang dulu terjadi kepada ibunya. Ibunya yang luar biasa itu, lebih memilih pergi menyusul ayahnya. Dulu mereka tak direstui karena ayahnya hanyalah orang biasa. Kini ia mengulangi kesalahan yang sama. Lelaki yang diam-diam dicintainya juga serupa dengan ayahnya. Bahkan terlalu serupa. Tentu ia ingin menikah, tetapi masalah yang ia alami begitu rumit. Perempuan itu juga ingin bahagia, tetapi ia bisa apa?

3.
Disuatu pagi Larasati dikejutkan dengan sepucuk surat yang tergeletak dibawah pintu kamarnya. Surat dari lelaki yang dulu sering berada di kediaman kakeknya. Lelaki yang sama yang selama ini diam-diam telah mencuri hatinya. “Assalamualaikum. Jika ini benar surat darimu kang, mari kita bertemu di RM. Rumput Laut sore ini pukul dua. Saya pastikan saya akan datang”. Perempuan itu dengan cepat mengirim pesan ke nomer lelakinya itu.

Larasati terlihat anggun sore itu dengan jilbab merah jambu dan aksesoris kecil yang membuatnya semakin terlihat manis. Setelah memastikan motornya aman, ia masuk ke RM rumput laut. Ia memutar kepala mencari sosok yang ingin ia temui. Lelaki itu, duduk ujung ruangan,  memunggungi pintu. Sepertinya ia tak menyadari kedatangannya.

“Assalamualikum,” sapa perempuan itu ramah.

“Waalaikum salam,” lelaki itu kaget. Seketika mempersilahkannya untuk duduk.

Kemudian hening. Lelaki itu seperti hendak mengucapkan sesuatu namun tak kunjung mengucap sepatah katapun.

“Sampean seperti terlihat ingin mengatakan sesuatu. Katakanlah, kang.”

Lelaki itu terlihat ragu, namun akhirnya ia mengangkat suara, “seharusnya kita tak perlu bertemu seperti ini. Neng, ini ndak baik. Neng bisa membalas surat saya dengan cara yang sama atau bekirim pesan seperti biasa. Saya bisa menerimanya.”

 “Dan saya tidak memiliki jawaban yang bisa disampaikan lewat pesan atau surat”.

Lelaki itu tiba-tiba mendongak melihat mata Larasati kemudian menunduk lagi seraya beristighfar lirih.

“Apakah ini berarti penolakan?”
“Iya.”
“Baiklah saya mengerti.”
“Apakah sampean tidak mau mendengar alasannya?”

“Saya paham, neng. Saya tahu diri. Saya tahu seharusnya saya tak lancang mengirim surat untuk mengkhitbahmu. Maaf, jika sebelumnya bahkan saya sempat berpikir untuk langsung menemui kiai.”

“Lalu mengapa sampean tidak langsung menemui abah, malah justru mengirimi saya surat terlebih dahulu?”

“Saya tidak ingin sampean terpaksa menerima saya, neng. Saya menginginkan kesediaan neng terlebih dahulu.”

“Oh, itu berarti sampean sudah sangat yakin jika abah pasti menerimamu?”

“Maaf,” Ujarnya lirih. Mukanya memerah karena menahan malu.

Laras tak menjawab dan memilih sibuk dengan pikirannya sendiri. “Duh Gusti, lelaki sejujur, setulus dan semurni ini bagaimana tidak membuatku semakin jatuh hati. Ya Allah, bagaimana ini.”

“Saya pesankan makanan dan minuman dulu neng, sampean mau pesan apa?” pertanyaan ahmad membuyarkan lamunan perempuan itu.

 “Oh saya jus alpukat dan bakso satu tanpa mie. Terimakasih,” sahutnya sambil tergagap.

Setelah pesanan datang dan keduanya telah menghabiskan pesanan masing masing, percakapan dimulai kembali.

“Kang, apakah sampean mencintai saya?”

Lelaki itu tak menjawab. Kulitnya yang putih dan parasnya yang tampan tak mampu menyembunyikan perasaannya. Seketika itu juga rona merah merambat ke seluruh wajahnya bahkan sampai ke leher dan kedua telinganya.

“Karena apa? Apa yang sampean sukai dari saya?”

Lelaki itu semakin menunduk menyembunyikan wajahnya. “Saya tidak tahu,” cicitnya.

“Kang, sampean tahu bukan, bahwa saya tidak sempurna?”

“Tidak ada yang sempurna,” timpal lelaki itu cepat.

Perempuan itu mengambil tisyu dihadapannya dan menuliskan sesuatu. Kemudian mengangsurkannya kepada lelaki di hadapannya.

Lelaki itu menerima dan membaca tulisan laras di dalam hati. Kemudian hening. Tak ada suara lagi dari keduanya. Karena jengah, Laras memutuskan angkat bicara. “Kang, sepertinya saya harus pergi. Abah dan Nyai akan khawatir jika saya pergi terlalu lama.”

Lelaki itu mengangsurkan tisyu itu kembali. “Saya bisa menerimanya neng. Demi Allah saya serius.”

Perempuan itu terpana, tak mampu mengucap apa-apa.

“Apakah neng tidak mencintai saya sama sekali?”

Perempuan itu menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Ia malu, malu sekali.

“Saya berjanji akan terus memperjuangkanmu, neng. Saya tahu saat ini saya jauh dari kata pantas. Saya akan datang lagi dalam keadaan yang lebih baik.”

“Jangan berjanji kang”

“Saya berharap kamu mau menunggu”

“Saya pergi, Assalamualaikum”

“Neng”. “Waalaikumsalam warohmatullah”

4.
Sore itu, sepuluh tahun silam. Seorang ibu dan putri kesayangannya menikmati kudapan sore dan teh di halaman belakang sambil bercengkrama.

“Ibu, bagaimana jika orang lain tahu?”

“Tentang?”.

“Kelainanku”. Cicit Larasati lirih

“Hey, putri ibu yang cantik. itu bukan kekurangan sayang. Kamu spesial bukan kelainan. Lihatlah ayah dan ibu mencintaimu. Kamu tidak perlu menghawatirkan itu.” Ujar sang ibu lembut sambil mendekap putri semata wayangnya.

“Lalu mengapa kenyataan ini harus selalu disembunyikan bu?”

“Hanya agar orang lain yang tidak perlu mengetahuinya, tidak punya alasan untuk menyakitimu nak.”

“Lalu sampai kapan bu?”.

“Sampai Allah memberi tanda-tandanya.”

“Tanda-tanda?”

“Jika ada lelaki yang tulus mencintaimu dan kamu mencintainya, maka katakanlah yang sejujurnya.”

“Ibu, apakah ada lelaki seperti itu? Aku takut ia ketakutan dengan kenyataan yang aku ungkapkan”

Ibu hanya diam. Aku tahu ibu juga meragu dan tak memiliki jawaban yang mampu menenangkan.

“Bu, apakah aku boleh meminta satu permintaan?”

“Tentu”

“Aku ingin operasi bu”

“Allah tidak menyukai perubahan yang dipaksakan nak. Allah juga tidak menyukai perubahan yang merusak kodratnya”

“Tetapi aku ingin menjadi perempuan seutuhnya bu dan aku yakin Allah yang menciptakan dan menuntunku menjadi perempuan yang baik”

Ibu menarik nafas beberapa kali kemudian berujar “Baiklah, ibu akan membicarakan ini dengan ayah, setelah itu mari kita kumpulkan uang dan segera lakukan operasi.”

“Terimakasih”. Aku memeluk ibu dengan erat.

5.
Larasati tak mampu mengalihkan pandangannya dari TV. Lelaki itu muncul lagi. Ya, lelaki yang selama ini begitu ia rindukan. Lelaki itu sudah sukses sekarang. Lelaki yang tak pernah jengah mengusahakannya. Bulir-bulir air menggenang dipelupuk mata. Ya Allah, ia mencintai lelaki itu, ia mencintainya, benar-benar mencintainya.

Sudah lama berlalu  dan lelaki itu masih saja menginginkannya. Tidakkah kekurangannya sebagai perempuan yang tak mampu memberi keturunan, mampu membuatnya mundur?.

“Bodoh, Ahmad bodoh, benar-benar bodoh,” runtuknya.

6.
Siang itu pesantren riuh oleh kabar yang mengejutkan.  Cucu kiai yang sudah sepuh itu akhirnya ditemukan setelah ibu dari perempuan itu menghilang puluhan tahun silam. Kini Laras menjelma menjadi cucu tunggal. Ibu dan ayahnya telah lama tiada karena kecelakaan sebuah pesawat. Ia yang saat itu tak turut serta karena sibuk bekerja, terpaksa selamat dan hidup sebatang kara. Kenyataan ini yang membuatnya memutuskan mencari kakek dan neneknya, sampai kemudian ia berhasil menginjakkan kaki di pesantren ini.

Perangainya yang lembut, sopan dan menyenangkan membuatnya begitu mudah disukai. Suaranya yang merdu mendayu serta kefasihannya dalam mengaji membuatnya tak henti dupuji. Apalagi parasnya yang ayu dan tubuhnya yang semampai semakin membuatnya cepat menjadi idola dan buah bibir banyak orang.

Pesonanya mampu menyihir semua lelaki, termasuk Ahmad, lelaki tampan dan pendiam, abdi ndalem kiai sendiri.

7.
Setelah mengurai pelukannya dan memutuskan pergi tanpa salam, Larasati menumpahkan semua air matanya dalam perjalanan. Ia tak tahu kemana motornya menuju. Yang ia tahu saat ini ia benar-benar patah hati. Siapa pula yang tak akan hancur melihat lelaki yang begitu ia ingini, ia cintai, juga menginginkannya dan mencintainya, namun terpaksa harus ia lepaskan.

Siang itu cuaca berubah dingin. Mendung melingkupi membumbung tinggi di angkasa. Tak lama tetesan hujan menyerbu bumi serupa air mata yang tak mampu lagi ditahan. Ia menggigil, menangis sejadi-jadinya.

“Allah, mengapa sesulit ini”. Lirihnya sambil sesenggukan

Ia terus saja mengendarai motornya tanpa arah. Dibawah guyuran hujan ia merutuki nasibnya. Bertanya apakah ini hanya lelucon dari Tuhan. Apakah ini mimpi yang akan berakhir jika ia terbangun. Mempertanyakan mengapa begitu sulit untuknya jatuh cinta dan dicintai, menginginkan dan dimiliki.

Dibawah guyuran hujan ia menangis. Menangis dan terus menangis. Kenyataan yang selama ini ia sembunyikan dan benar-benar ingin ia lupakan, datang kembali dan mencekik saraf-sarafnya. Ia benar-benar ingin menghapus kenyataan jika dulu ia adalah perempuan berpenis. Hanya Allah, kedua orang tuanya dan Ahmad yang tahu. Ya, Ahmad tahu dan bersedia menerima ia apa adanya.

Meski beberapa tahun yang lalu ia telah memangkas dan mengubahnya menyerupai vagina, dan operasi itu telah berhasil dengan baik. Hanya saja ia tetap merasa belum menjadi perempuan seutuhnya. Ia paham terlalu jahat jika menerima pinangannya dan memutuskan hidup dengan lelaki itu. Bagaimanapun selamanya ia tak akan pernah mampu memberinya keturunan. Ia tahu itu. Paham dan sangat paham. Ia masih menangis tanpa pernah tahu kapan duka dan tangisnya akan berhenti.

“Allah, aku hanya ingin dicintai dan mencintai, serta diinginkan dan menginginkan, diperjuangkan,  memperjuangkan, serta memiliki tanpa berarti menyakiti. Memiliki yang bukan berarti menyakiti.”
***

*Keterangan
Neng                     : Panggilan untuk cucu atau putri perempuan kiai yang masih muda.
Kang                     : Panggilan untuk murid pesantren putra. Jika murid pesantren putri biasa dipanggil ‘mbak’.
Sampean               : Bahasa Jawa halus yang berarti ‘kamu’
Abdi ndalem         : Seseorang yang membantu keperluan domestik keluarga pesantren, seperti menyapu, memasak dll.
Ndak                     : Bahasa jawa berarti ‘tidak’

*Cerpen ini ditulis guna materi diskusi tentang queer.