Selasa, 03 Mei 2016

Merebut Kembali Kendali Tubuh Perempuan

Kita selalu kembali menemukan jati diri sebagai pusat dari kepuasan seksual laki-laki, bentuk dan fungsi kontrol sosial terhadap perempuan (La Coveney et al, 1984:9)

           Dalam istilah jawa, ‘Perempuan’  di sebut ‘Wanito’, dianggap sebagai sebuah akronim dari ‘wani ditoto’. Istilah ini berarti ‘berani diatur’ atau ‘harus mau diatur’. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa perempuan sudah kodratnya untuk diatur dan mau diatur. Selain itu perempuan juga seringkali diibaratkan sebagai tulang rusuk. Sebuah tulang yang jika tidak diluruskan, maka selamanya akan bengkok. Karena ibarat penciptaan dari tulang rusuk inilah, perempuan dianggap ‘belum lurus’. Sehingga seringkali perempuan dianggap sebagai ‘warga kelasa dua’ yang harus patuh terhadap peraturan-peraturan yang diciptakan untuk mengatur (memaksa) cara hidupnya. Oleh karena itu, keadaan ini kemudian seringkali membuat perempuan tidak memiliki pilihan untuk mengekspresikan kehendaknya sendiri. Banyak sekali nilai-nilai maupun peraturan-peraturan yang memaksa perempuan untuk patuh. Sampai pada tahap, kepatuhan adalah sebuah keharusan dan kewajaran sehingga para perempuan tidak merasa sedang ‘dipaksa’ untuk tunduk. Padahal sejatinya nilai, norma, adat, korporasi, agama maupun negara telah berkonspirasi atau bahkan berebut untuk mengendalikan tubuh perempuan.
Norma kesopanan perempuan berada dalam lingkup ruang tatap laki-laki, dimana seorang perempuan dianggap ‘sopan’ hanya jika ia dirasa ‘tidak mengundang’ hasrat lawan jenisnya. Para pengguna busana mini ditempat umum seringkali dicaci karena dianggap ‘tidak sopan’ dimata lelaki. Perempuan dituntut untuk sopan (tertutup) ketika diluar rumah. Sedangkan ketika didalam rumah, perempuan diberikan kebebasan lebih, hanya karena ruang tatap laki-laki selain keluarga sangat minim di lingkungan itu. Dengan kata lain, tubuh perempuan dianggap aman jika hanya keluarga yang melihat. Hanya satu orang yang notabene orang lain yang diperbolehkan ‘melihat’ yaitu suami. Karena selama ini suami telah dianggap mempunyai hak penuh terhadap istrinya.
Entah disadari atau tidak, selama ini belum ada kesepakatan secara universal mengenai batasan kesopanan busana perempuan. Kriteria sopan berbeda di setiap lingkup tergantung dari kesepakatan laki-laki yang berada di wilayah itu. Ada yang menganggap sopan itu bercadar, sopan itu berkerudung, sopan itu berbaju longgar, ada juga yang menganggap rok diatas lutut juga sudah sopan. Bagaimanapun sekali lagi, kesopanan perempuan selalu saja dikalkulasi dari mata lelaki mana yang menilai dan mengawasi. Perempuan selalu saja dipaksa untuk ‘menutupi’ padahal ‘penutupan’ tubuh perempuan tidak menjamin perempuan menjadi aman di ruang privat maupun publik.
Selain segi pilihan penampilan, perempuan juga dikekang dalam segi seksualnya. Selama ini perempuan dalam konteks suami istri sering ditempatkan dalam posisi ‘melayani’ yang seringkali diartikan hanya ‘menyambut, pasrah dan manut’. Perempuan dianggap pasif, dan tak pantas memiliki kehendak sehingga sudah sepatutnya ia patuh terhadap lelakinya. Sehingga kemudian didalam pernikahan banyak perempuan yang terpaksa pura-pura orgasme karena demi menyenangkan ‘ego’ pasangannya. Banyak perempuan muslim yang percaya bahwa jika ia menolak melayani ajakan seksual suaminya ketika malam hari, maka ia akan dilaknat oleh malaikat hingga pagi. Hampir semua muslimah mempercayai itu, tanpa pernah bertanya apakah itu juga berlaku terhadap laki-laki. Apakah jika suaminya menolak ajakan bercinta si istri maka suaminya juga akan dilaknat malaikat hingga matahari muncul dari tempatnya sembunyi?.
Menurut Gadis Arivia dalam jurnal perempuan edisi 71, ada empat hal yang perlu dilakukan untuk memberdayakan kembali tubuh perempuan. Pertama, perempuan harus berani terbuka untuk berbicara soal seksualitas dan mewancanakan seksual perempuan dengan gamblang, bahwa perempuan memiliki daya seksual dan tidak menjadi sesuatu yang tabu untuk membicarakannya. Kedua, perempuan harus berani berkata “tidak” bila tidak sesuai dengan kehendak pribadinya dalam hal yang berkaitan dengan penampilan dan eksistensi dirinya. Ketiga, perempuan harus berani berkata “ya” terhadap keinginan seksualnya. Ketika perempuan telah siap untuk memutuskan berhubungan seksual, maka, keinginan tersebut harus dihormati. Keempat, perempuan harus berani belajar untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri karena keinginan seksualnya ataupun karena pilihan pakaiannya.
Memang akan selalu ada pro kontra terhadap pembahasan tentang perempuan dan seksualitas. Banyak golongan yang menganggap hal ini masih terlalu tabu untuk dibicarakan dan didiskusikan. Namun harapan dilaksanakannya diskusi feminisme dan gender Oleh KOPRI PMII Cabang Surabaya Selatan kali ini (Rabu 27 April 2016) adalah agar terbukanya prespektif baru dalam dunia perempuan di surabaya selatan. Sehingga perempuan kita, mampu dan mau mendengarkan pendapatnya sendiri dan berani bersuara. Sehingga dapat terjalin komunikasi yang baik antara gender. Sehingga kemungkinan salah tafsir dalam komunikasi bisa diminimalisir.  

Bagaimanapun akan selalu ada pihak yang tidak cocok terhadap pilihan-pilihan yang dilakukan perempuan. Oleh karena itu yang terpenting adalah ia memilih sebuah pilihan karena merasa nyaman dan bukan karena intimidasi orang lain. Karena perempuan adalah makhluk yang merdeka, dimana seharusnya ia juga memiliki hak terhadap dirinya sendiri, terutama terhadap tubuhnya. (UA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar