Kita selalu kembali menemukan jati diri sebagai pusat dari kepuasan seksual laki-laki, bentuk dan fungsi kontrol sosial terhadap perempuan (La Coveney et al, 1984:9)
Dalam istilah jawa, ‘Perempuan’ di sebut ‘Wanito’, dianggap sebagai sebuah akronim dari ‘wani ditoto’. Istilah ini berarti ‘berani diatur’ atau ‘harus mau diatur’. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa perempuan sudah kodratnya untuk diatur dan mau diatur. Selain itu perempuan juga seringkali diibaratkan sebagai tulang rusuk. Sebuah tulang yang jika tidak diluruskan, maka selamanya akan bengkok. Karena ibarat penciptaan dari tulang rusuk inilah, perempuan dianggap ‘belum lurus’. Sehingga seringkali perempuan dianggap sebagai ‘warga kelasa dua’ yang harus patuh terhadap peraturan-peraturan yang diciptakan untuk mengatur (memaksa) cara hidupnya. Oleh karena itu, keadaan ini kemudian seringkali membuat perempuan tidak memiliki pilihan untuk mengekspresikan kehendaknya sendiri. Banyak sekali nilai-nilai maupun peraturan-peraturan yang memaksa perempuan untuk patuh. Sampai pada tahap, kepatuhan adalah sebuah keharusan dan kewajaran sehingga para perempuan tidak merasa sedang ‘dipaksa’ untuk tunduk. Padahal sejatinya nilai, norma, adat, korporasi, agama maupun negara telah berkonspirasi atau bahkan berebut untuk mengendalikan tubuh perempuan.
Norma kesopanan perempuan berada
dalam lingkup ruang tatap laki-laki, dimana seorang perempuan dianggap ‘sopan’
hanya jika ia dirasa ‘tidak mengundang’ hasrat lawan jenisnya. Para pengguna
busana mini ditempat umum seringkali dicaci karena dianggap ‘tidak sopan’
dimata lelaki. Perempuan dituntut untuk sopan (tertutup) ketika diluar rumah.
Sedangkan ketika didalam rumah, perempuan diberikan kebebasan lebih, hanya
karena ruang tatap laki-laki selain keluarga sangat minim di lingkungan itu.
Dengan kata lain, tubuh perempuan dianggap aman jika hanya keluarga yang
melihat. Hanya satu orang yang notabene orang lain yang diperbolehkan ‘melihat’
yaitu suami. Karena selama ini suami telah dianggap mempunyai hak penuh
terhadap istrinya.
Entah disadari atau tidak, selama
ini belum ada kesepakatan secara universal mengenai batasan kesopanan busana perempuan. Kriteria sopan berbeda di setiap lingkup tergantung dari kesepakatan laki-laki yang berada
di wilayah itu. Ada yang menganggap sopan itu bercadar, sopan itu berkerudung,
sopan itu berbaju longgar, ada juga yang menganggap rok diatas lutut juga sudah
sopan. Bagaimanapun sekali lagi, kesopanan perempuan selalu saja dikalkulasi
dari mata lelaki mana yang menilai dan mengawasi. Perempuan selalu saja dipaksa
untuk ‘menutupi’ padahal ‘penutupan’ tubuh perempuan tidak menjamin perempuan
menjadi aman di ruang privat maupun publik.
Selain segi pilihan penampilan, perempuan juga
dikekang dalam segi seksualnya. Selama ini perempuan dalam konteks suami istri
sering ditempatkan dalam posisi ‘melayani’ yang seringkali diartikan hanya
‘menyambut, pasrah dan manut’. Perempuan dianggap pasif, dan tak pantas memiliki
kehendak sehingga sudah sepatutnya ia patuh terhadap lelakinya. Sehingga
kemudian didalam pernikahan banyak perempuan yang terpaksa pura-pura orgasme
karena demi menyenangkan ‘ego’ pasangannya. Banyak perempuan muslim yang
percaya bahwa jika ia menolak melayani ajakan seksual suaminya ketika malam
hari, maka ia akan dilaknat oleh malaikat hingga pagi. Hampir semua muslimah
mempercayai itu, tanpa pernah bertanya apakah itu juga berlaku terhadap
laki-laki. Apakah jika suaminya menolak ajakan bercinta si istri maka suaminya
juga akan dilaknat malaikat hingga matahari muncul dari tempatnya sembunyi?.
Menurut Gadis Arivia dalam jurnal
perempuan edisi 71, ada empat hal yang perlu dilakukan untuk memberdayakan
kembali tubuh perempuan. Pertama, perempuan harus berani terbuka untuk berbicara soal
seksualitas dan mewancanakan seksual perempuan dengan gamblang, bahwa perempuan
memiliki daya seksual dan tidak menjadi sesuatu yang tabu untuk membicarakannya. Kedua, perempuan harus berani berkata “tidak” bila tidak
sesuai dengan kehendak pribadinya dalam hal yang berkaitan dengan penampilan
dan eksistensi dirinya. Ketiga, perempuan harus berani berkata “ya” terhadap
keinginan seksualnya. Ketika perempuan telah siap untuk memutuskan berhubungan
seksual, maka, keinginan tersebut harus dihormati. Keempat, perempuan harus berani belajar untuk tidak
menyalahkan dirinya sendiri karena keinginan seksualnya ataupun karena pilihan
pakaiannya.
Memang akan selalu ada pro kontra terhadap
pembahasan tentang perempuan dan seksualitas. Banyak golongan yang menganggap
hal ini masih terlalu tabu untuk dibicarakan dan didiskusikan. Namun harapan
dilaksanakannya diskusi feminisme dan gender Oleh KOPRI PMII Cabang Surabaya
Selatan kali ini (Rabu 27 April 2016) adalah agar terbukanya prespektif baru
dalam dunia perempuan di surabaya selatan. Sehingga perempuan kita, mampu dan
mau mendengarkan pendapatnya sendiri dan berani bersuara. Sehingga dapat
terjalin komunikasi yang baik antara gender. Sehingga kemungkinan salah tafsir
dalam komunikasi bisa diminimalisir.
Bagaimanapun akan selalu ada pihak yang tidak cocok
terhadap pilihan-pilihan yang dilakukan perempuan. Oleh karena itu yang
terpenting adalah ia memilih sebuah pilihan karena merasa nyaman dan bukan
karena intimidasi orang lain. Karena perempuan adalah makhluk yang merdeka,
dimana seharusnya ia juga memiliki hak terhadap dirinya sendiri, terutama terhadap
tubuhnya. (UA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar