Kamis, 09 Juni 2016

(PE)SANTRI(AN)

Zaini Thamim
Gubernur Fakultas Tarbiyah 2011, Sekretaris Cabang PMII Surabaya Selatan 2012
@ZaiNino9


Kini sudah 9 Juni. Angka 9 bagi penulis selalu istimewa; sebingkai kisah dengan “perhiasan” sejarah. Namun bukan kisah yang akan diurai dalam coretan sederhana ini. Ini tentang Ramadhan; bulan refleksi bagi manusia dan semesta. Di bulan ini pula realitas keberagamaan – dengan ritual dan tradisinya – menjadi ciri yang melekat dengan batas. Sekolah/kampus misalnya. Sekolah seakan berlomba-lomba menyelenggarakan sebuah agenda tahunan dengan tema “pondok ramadhan” atau “pesantren ramadhan”. Dengan agenda itu diharap anak didik akan menjadi santri dalam satu waktu. Di sisi lain, doktrin agama seakan diset-up agar anak didik memperoleh pengetahuan dan merubah sikap. Padahal, pondok/pesantren ramadhan bukan pesantren. Ia hanya serangkaian acara yang dikemas dengan nuansa agama lengkap dengan dogma-dogma.
Sementara pesantren tidak sama dengannya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan dengan ciri khas tersendiri. Pesantren menjadi bagian masyarakat Indonesia dari dulu hingga saat ini. Sebelum Islam hadir di Indonesia, lembaga serupa pesantren ini sudah ada, dan Islam hadir mengintegrasikannya. Jadi, pesantren merupakan hasil akulturasi kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan kebudayaan Islam, kemudian menjelma menjadi suatu lembaga yang kita kenal sebagai pondok pesantren sekarang ini.
Sistem pendidikan pesantren mengadopsi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Abdurrahman Wahid, menyebutnya dengan istilah subkultur. Ada tiga elemen yang mampu membentuk pesantren sebagai subkultur : 1) pola kepemimpinan pesantern yang mandiri, tidak terkooptasi oleh negara. 2) kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad. 3) sistem nilai yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Tiga elemen ini menjadi ciri yang menonjol dalam perkembangan pendidikan di pesantren. Subkultur tersebut dibangun komunitas pesantren senantiasa berada dalam sistem sosial budaya yang lebih besar.
Dengan demikian, sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dalam banyak hal merupakan hasil adaptasi dari pola-pola pendidikan yang telah ada dikalangan masyarakat Hindu-Budha sebelumnya. Jika ini benar, maka ada relevansinya dengan asumsi bahwa pesantren mendapat pengaruh dari tradisi lokal. Model pendidikan agama jawa yang diadaptasi itu disebut pariwayatan, berbentuk asrama dengan rumah pengajar. Sistem pendidikan ini diambil dengan mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran Islam. Pengambilan model meniru dan mengganti ini juga terjadi dalam sistem pewayangan.
Proses adaptasi sistem pendidikan itulah yang menguatkan penilaian selama ini bahwa pendidikan pesantren disebut sistem pendidikan produk Indonesia. Nurcholish Madjid, menyebut dengan istilah indegenous. Sistem pendidikan asli Indonesia ini pernah menganut dan memiliki daya tawar yang tinggi sebagai antitesis terhadap sistem pendidikan Belanda. Karel A. Streenbrink mengungkapkan bahwa pada 1930-an, sistem pondok pesantren yang sering disebut sistem pendidikan asli Indonesia dapat menyaingi pendidikan Barat yang materialistis.
Sistem pendidikan ini membawa nilai, antara lain : pertama, pengasuh mampu melakukan pemantauan secara leluasa hampir setiap saat terdapat perilaku santri baik yang terkait dengan upaya pengembangan intelektualnya maupun kepribadiannya. Kedua, adanya proses pembelajaran dengan frekuensi yang tinggi dapat memperkokoh pengetahuan yang diterimanya. Ketiga, adanya proses pembiasaan akibat interaksinya setiap saat baik sesama santri, santri denga ustadz maupun santri dengan kiai. Keempat, adanya integrasi antara proses pembelajaran dengan kehidupan keseharian.
Pendidikan pesantren menunjukkan sifat dan bentuk yang lain dari pola pendidikan pada umumnya. Maka pesantren menghadapi dilema untuk mengintregasikan sistem pendidikan yang dimiliki dengan sistem pendidikan nasional. Ditinjau dari awal mula berdirinya, pesantren memang tidak dimaksudkan untuk meleburkan dalam sistem pendidikan nasional. Bahkan ketika zaman kolonial Belanda, pesantren memiliki strategi isolasi dan konservasi. Konsekuensinya, berbagai citra negatif diarahkan pada pesantren. Pesantren seringkali dinilai sebagai sistem pendidikan yang isolasionis - terpisah dari aliran utama pendidikan nasional, dan konservatif yakni kurang peka terhadap tuntutan perubahan zaman dan masyarakat. Fungsi konservatif terlihat pada upayanya menjaga ajaran Islam.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki unsur utama yang berbasiskan pada subyek manusia, yakni kiai dan santri. Hubungan relasional antara keduanya melahirkan suatu bentuk komunikasi edukatif dalam proses pembelajaran di pesantren. Kiai adalah seorang pengajar pendidik, pengelola, guru (ustadz) dan sekaligus pemangku pesantren. Di sisi lain, ia adalah central figure yang menjadi pusat kebijakan dan kebijaksanaan. Dan santri sebagai siswa yang belajar kepada sang kiai untuk mendapatkan ilmu dan barokah. Maka jelas, pesantren memiliki karakteristiknya tersendiri dibanding dengan lembaga atau proses pendidikan lain. Secara tradisional, sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren mensinergikan pengembangan intelektual dan aspek kepribadian. Sehingga sikap, intelektualitas, dan karakter “digembleng” dan dibentuk di sini. ZT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar