Zaini Thamim
Gubernur
Fakultas Tarbiyah 2011, Sekretaris Cabang PMII Surabaya Selatan 2012
@ZaiNino9
Kini
sudah 9 Juni. Angka 9 bagi penulis selalu istimewa; sebingkai kisah dengan
“perhiasan” sejarah. Namun bukan kisah yang akan diurai dalam coretan sederhana
ini. Ini tentang Ramadhan; bulan refleksi bagi manusia dan semesta. Di bulan
ini pula realitas keberagamaan – dengan ritual dan tradisinya – menjadi ciri
yang melekat dengan batas. Sekolah/kampus misalnya. Sekolah seakan
berlomba-lomba menyelenggarakan sebuah agenda tahunan dengan tema “pondok
ramadhan” atau “pesantren ramadhan”. Dengan agenda itu diharap anak didik akan
menjadi santri dalam satu waktu. Di sisi lain, doktrin agama seakan diset-up
agar anak didik memperoleh pengetahuan dan merubah sikap. Padahal,
pondok/pesantren ramadhan bukan pesantren. Ia hanya serangkaian acara yang
dikemas dengan nuansa agama lengkap dengan dogma-dogma.
Sementara
pesantren tidak sama dengannya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan dengan
ciri khas tersendiri. Pesantren menjadi bagian masyarakat Indonesia dari dulu
hingga saat ini. Sebelum Islam hadir di Indonesia, lembaga serupa pesantren ini
sudah ada, dan Islam hadir mengintegrasikannya. Jadi, pesantren merupakan hasil
akulturasi kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan kebudayaan Islam, kemudian
menjelma menjadi suatu lembaga yang kita kenal sebagai pondok pesantren
sekarang ini.
Sistem
pendidikan pesantren mengadopsi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Abdurrahman Wahid, menyebutnya dengan istilah subkultur. Ada tiga elemen yang
mampu membentuk pesantren sebagai subkultur : 1) pola kepemimpinan pesantern
yang mandiri, tidak terkooptasi oleh negara. 2) kitab-kitab rujukan umum yang
selalu digunakan dari berbagai abad. 3) sistem nilai yang digunakan adalah
bagian dari masyarakat luas. Tiga elemen ini menjadi ciri yang menonjol dalam
perkembangan pendidikan di pesantren. Subkultur tersebut dibangun komunitas
pesantren senantiasa berada dalam sistem sosial budaya yang lebih besar.
Dengan
demikian, sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dalam banyak hal
merupakan hasil adaptasi dari pola-pola pendidikan yang telah ada dikalangan
masyarakat Hindu-Budha sebelumnya. Jika ini benar, maka ada relevansinya dengan
asumsi bahwa pesantren mendapat pengaruh dari tradisi lokal. Model pendidikan
agama jawa yang diadaptasi itu disebut pariwayatan, berbentuk asrama dengan
rumah pengajar. Sistem pendidikan ini diambil dengan mengganti nilai ajarannya
menjadi nilai ajaran Islam. Pengambilan model meniru dan mengganti ini juga
terjadi dalam sistem pewayangan.
Proses
adaptasi sistem pendidikan itulah yang menguatkan penilaian selama ini bahwa
pendidikan pesantren disebut sistem pendidikan produk Indonesia. Nurcholish
Madjid, menyebut dengan istilah indegenous. Sistem pendidikan asli Indonesia
ini pernah menganut dan memiliki daya tawar yang tinggi sebagai antitesis
terhadap sistem pendidikan Belanda. Karel A. Streenbrink mengungkapkan bahwa
pada 1930-an, sistem pondok pesantren yang sering disebut sistem pendidikan
asli Indonesia dapat menyaingi pendidikan Barat yang materialistis.
Sistem
pendidikan ini membawa nilai, antara lain : pertama, pengasuh mampu melakukan
pemantauan secara leluasa hampir setiap saat terdapat perilaku santri baik yang
terkait dengan upaya pengembangan intelektualnya maupun kepribadiannya. Kedua,
adanya proses pembelajaran dengan frekuensi yang tinggi dapat memperkokoh
pengetahuan yang diterimanya. Ketiga, adanya proses pembiasaan akibat
interaksinya setiap saat baik sesama santri, santri denga ustadz maupun santri
dengan kiai. Keempat, adanya integrasi antara proses pembelajaran dengan
kehidupan keseharian.
Pendidikan
pesantren menunjukkan sifat dan bentuk yang lain dari pola pendidikan pada
umumnya. Maka pesantren menghadapi dilema untuk mengintregasikan sistem
pendidikan yang dimiliki dengan sistem pendidikan nasional. Ditinjau dari awal
mula berdirinya, pesantren memang tidak dimaksudkan untuk meleburkan dalam
sistem pendidikan nasional. Bahkan ketika zaman kolonial Belanda, pesantren
memiliki strategi isolasi dan konservasi. Konsekuensinya, berbagai citra
negatif diarahkan pada pesantren. Pesantren seringkali dinilai sebagai sistem
pendidikan yang isolasionis - terpisah dari aliran utama pendidikan nasional,
dan konservatif yakni kurang peka terhadap tuntutan perubahan zaman dan
masyarakat. Fungsi konservatif terlihat pada upayanya menjaga ajaran Islam.
Sebagai
lembaga pendidikan, pesantren memiliki unsur utama yang berbasiskan pada subyek
manusia, yakni kiai dan santri. Hubungan relasional antara keduanya melahirkan
suatu bentuk komunikasi edukatif dalam proses pembelajaran di pesantren. Kiai
adalah seorang pengajar pendidik, pengelola, guru (ustadz) dan sekaligus
pemangku pesantren. Di sisi lain, ia adalah central figure yang menjadi pusat
kebijakan dan kebijaksanaan. Dan santri sebagai siswa yang belajar kepada sang
kiai untuk mendapatkan ilmu dan barokah. Maka jelas, pesantren memiliki
karakteristiknya tersendiri dibanding dengan lembaga atau proses pendidikan
lain. Secara tradisional, sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren
mensinergikan pengembangan intelektual dan aspek kepribadian. Sehingga sikap,
intelektualitas, dan karakter “digembleng” dan dibentuk di sini. ZT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar